Minggu, 27 November 2011

(GoVlog) Ade dan Dedikasi Penanggulangan HIV






Melakukan pendampingan dan teman bicara bagi orang yang baru mengetahui dirinya terinfeksi HIV sudah beratus kali dilakukan Ade Komariah. Tapi tetap saat itu dia tidak bisa menahan air mata yang berkaca di matanya. Dihadapannya tampak seorang balita berusia 3 tahun yang digendong oleh seorang perempuan tua berkulit kasar akibat banyak terbakar matahari. Perempuan tua itu nenek dari sang bocah. Sebut saja nama bocah itu bernama Fadya. Yatim piatu setelah kedua oranng tuanya meninggal lebih dulu karena terjangkit HIV yang diketahui terlambat. Tidak cukup menghabisi kedua orang tuanya, keganasan virus itu mulai mengancam Fadya.

Hasil tes CD-4 Fadya menunjukkan dia terinfeksi HIV dan harus menjalani pengobatan ARV. Dia memegang sebuah mainan berbentuk rumah-rumahan. Kondisi badannya kurus kering. Setelah orang tuanya meninggal dia dirawat sang nenek yang setiap hari mencari makan dengan berkebun di Kabupaten Way Kanan, Lampung. Setiap sang nenek bekerja, Fadya digendong di belakang.

Fadya mendapatkan virus itu dari ibunya. Ibu Fadya yang sudah almarhum tertular dari ayahnya, seorang sopir truk. Ayahnya meninggal empat tahun lalu, ibunya menyusul tiga setengah tahun berikutnya

CD-4 adalah sel dalam darah yang merupakan tipe limposit dan berfungsi untuk menjaga daya tahan di dalam tubuh.

Orang yang terinfeksi HIV dan memiliki kadar CD-4 yang lebih kecil dari angka normal, harus menjalani terapi ARV untuk meningkatkan kembali kadar sel CD-4 yang dia miliki, agar tetap bisa beraktivitas sebagaimana layaknya orang yang tidak terinfeksi HIV. Hasil tes CD-4 Fadya siang itu menunjukkan dia harus menjalani pengobatan ARV, sebuah terapi yang akan dia jalani seumur hidupnya.

Seperginya Fadya, Ade menangis.Emosinya meluap. Kepolosan sang bocah yang harus tertular HIV menjadi penyebabnya.

"Saya ingat orang rumah," kata dia.

Ade Komariah Indira adalah sosok sangat populer di kalangan Orang Terinfeksi HIV (OTH) yang menjalani terapi Anti retroviral (ARV) di klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek. Jabatannya sebagai manager kasus menjadi penyebabnya.

Saat ini Ade mendampingi delapan Orang terinfeksi HIV (OTH) yang mencakup seluruh wilayah Lampung, sebagian besar masih berstatus anak-anak dan tinggal di pelosok. Ada alasan khusus tentang "kegigihannya" dalam melakukan pendampingan tersebut. Motivasi yang sangat personal. Dia juga seorang ODHA yang sudah berani "Open status".

Ade terinfeksi HIV dari Sang suami, seorang penegak hukum yang menggunakan narkoba melalui jarum suntik. Mereka berpacaran sejak muda. Cinta yang menggebu membuat Ade tidak menolak dinikahi suaminya pada usia 17 tahun. Saat itulah Ade baru tahu tentang kebiasaan buruk suaminya yang berstatus napza.

"Masa muda saya dengan suami sangat bahagia, namun meskipun suami saya seorang napza, saya tidak ikut-ikut," kata Ade yang terus mensupport suaminya agar lepas dari ketergantungan narkoba pada saat itu. Beberapa kali dia mendorong suaminya melakukan rehab, tapi selalu berujung gagal.

Pernikahan bahagia itu membuahkan dua orang anak. Sulung berjenis kelamin perempuan dan lahir pada tahun 1998, dan yang kedua laki-laki lahir pada 2006.

Meski sudah memiliki dua orang anak, kebiasaan menggunakan narkoba suntik sang suami tidak kunjung sembuh dan diikuti dengan kondisi kesehatannya yang menurun drastis.

Kesadarannya dan suami tentang efek buruk penggunaan narkoba suntik tersebut baru dilakukan pada 2007, saat kondisi kesehatan sang suami mulai sakit-sakitan dan sering drop. Atas saran pihak rumah sakit yang merawat, mereka berdua disarankan melakukan tes CD-4, untuk mengetahui apakah keduanya terinfeksi HIV.

"Saat itulah saya baru tahu bahwa saya dan suami terinfeksi," kata dia.

Pada 2008 sang suami meninggal dunia karena sistem kekebalan tubuhnya sudah habis digerogoti HIV. Ade menjadi janda sekaligus orang tua tunggal kedua anaknya saat umurnya masih berusia 30 tahun. Tanggung jawab besar di usia yang masih sangat muda memaksanya untuk membanting tulang mencukupi kebutuhan kedua anaknya. Sempat bekerja di perusahaan asuransi selama hampir setahun. Pendapatan dari sana bersama pensiun sang suami menjadi andalan Ade untuk menghidupi keluarganya setiap bulan.

"Saat itu saya sempat 'down', tapi naluri saya mengatakan hal ini tidak boleh berlangsung lama. Anak-anak butuh makan dan biaya sekolah," kata dia.

Kondisi dia sebagai Orang terinfeksi HIV diketahui oleh pimpinannya di perusahaan asuransi tempatnya bekerja. Meski demikian, dia tidak mendapatkan perbedaan pelakuan apapun terhadap kondisinya, apalagi diskriminasi. Kondisi inilah yang menguatkan Ade, bahwa sebenarnya dia bisa bekerja layak sebagaimana orang-orang lain yang tidak terinfeksi HIV. Dia juga aktif di Organisasi sebaya "Jaringan Orang terinfeksi HIV (JOTHI)" Provinsi Lampung. Di organisasi tersebut dia mendapat banyak dukungan dari sesama orang terinfeksi yang kemudian berujung pada rasa optimistis. Life must go on, tekadnya.

Meski demikian, masih ada satu masalah yang belum terselesaikan. Ade belum melakukan tes CD-4 bagi kedua anaknya. Alasan belum siap menerima kenyataan menjadi penyebab Ade menunda tes tersebut selama ini. Dia tidak bisa menerima apabila hasil tes kedua anaknya positif. Ketakutan itu akhirnya luluh.Masukan dari teman-temannya di JOTHI Lampung mengantarkannya pada pintu gerbang penerimaan kenyataan tersebut. Pada 2009 dia melakukan tes CD-4 terhadap kedua putra-putrinya.

Hasil tes pada putrinya negatif.Ade lega. Namun saat melihat hasil tes putra kecilnya yang saat itu berusia tiga tahun, pertahanannya runtuh. Hasilnya positif.Naluri keibuan Ade memaksa dia menyalahkan keadaan dan tidak menerima kenyataan. Saat itulah Ade merasakan guncangan yang luar biasa.

"Saya betul-betul tidak terima buah hati saya yang baru berusia tiga tahun terinfeksi HIV," katanya saat tahu putra keduanya dinyatakan positif. Tidak terbayang di benak Ade saat sang buah hati yang tidak berdosa itu harus melakukan perawatan seumur hidup agar dirinya dapat beriaktivitas sebagaimana orang tidak terinfeksi.

"Saya merasa sangat bersalah, dan tiba-tiba benci dengan diri sendiri," kata dia.

Cukup lama Ade dalam kondisi seperti itu. Rasa bersalah berkepanjangan menyebabkan dirinya stagnan.

Akhirnya, melalui proses bertukar fikiran dengan teman-temannya di JOTHI Lampung, dia sampai pada kesimpulan bahwa kondisi itu harus dihadapi. Seburuk apapun hidup harus terus berlanjut dan kenyataan harus diterima.

Penghujung 2009, Ade memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan asuransi tempatnya bekerja. Ritme kerja yang gila-gilaan dan bertolak belakang dengan kondisi fisiknya yang tidak boleh terlalu capek menjadi alasan utama. Setelah mengundurkan diri tersebut, datang tawaran untuk menjadi manager kasus klinik VCT RSUDAM Lampung.

"Saat itu alasan saya adalah saya ingin berbuat banyak buat orang-orang yang seperti saya, termasuk mencegah agar HIV tidak menginfeksi bayi dan anak-anak mereka," kata Ade.

Pada Oktober 2010, untuk pertama kalinya, si bungsu mulai menjalani terapi ARV yang akan dijalaninya seumur hidup. Bukan sebuah hal yang mudah menyaksikan anak yang masih lucu-lucunya menjalani terapi ARV. Efek samping obat tersebut yang terkadang "tidak berperikemanusiaan" menjadi penyebab. Pada masa-masa awal terapi, si kecil mengalami demam dan badan merah-merah. Godaan untuk menghentikan terapi demikian besar. Namun Ade pasrah dengan kondisi itu. Tekad agar sang anak dapat hidup sebagaimana orang-orang non terinfeksi lebih kuat ketimbang melihat kondisi sesaat. Terapi sang anak dilanjutkan.


Alasan yang sama juga yang membuatnya menerima amanat dari rekan-rekannya di JOTHI sebagai Koordinator Provinsi JOTHI Lampung. Entah becanda atau serius, dia menyatakan hidupnya saat ini didedikasikannya secara penuh untuk penanggulangan HIV di Lampung.

Bersama JOTHI Lampung, dia bertekad untuk melakukan langkah advokasi penuh terhadap penanggulangan HIV di daerah itu. Saat ini, dia dan rekan-rekan sedang memperjuangkan diterbitkannya Perda HIV oleh pemerintah Bandarlampung untuk menjamin penanganan dan perlindungan terhadap Orang Terinfeksi HIV terus berjalan di daerah itu. Sedangkan sebagai manager kasus di klinik VCT RSUDAM, dia bertekad akan terus melakukan pendampingan dan menjadi teman curhat orang-orang yang menjalani terapi ARV di rumah sakit tersebut, yang hingga Oktober 2011 telah menyentuh angka 206 OTH dan 12 diantaranya adalah anak-anak.

"Saya hanya ingin anak saya dan ratusan anak yang potensial terinfeksi mendapatkan kehidupan dan perlakuan yang jauh lebih baik dibandingkan saat ini. Karena HIV hanyalah virus yang masuk ke tubuh seseorang, hanya perlu penanganan khusus dan tidak perlu distigmatisasi," Ade menegaskan.

Bandarlampung, Lampung, 28 November 2011.



1 komentar:

tommytoxcum mengatakan...

Kami dari Admin GoVlog, perlu meminta data diri Anda yang mengikuti GoVlog AIDS. Data diri ini kami pergunakan untuk pemberitahuan jika Anda terpilih menjadi 10 besar.

Nama Lengkap:
Jenis Kelamin:
No tlp/HP (yang bisa dihubungi):
Email:
Yahoo Messenger:
Alamat lengkap:
Pekerjaan:
Link posting Blog GoVlog AIDS:

Mohon data diri Anda dikirim ke email tommy.adi@vivanews.com

Terimakasih