Minggu, 27 November 2011

(GoVlog) Ade dan Dedikasi Penanggulangan HIV






Melakukan pendampingan dan teman bicara bagi orang yang baru mengetahui dirinya terinfeksi HIV sudah beratus kali dilakukan Ade Komariah. Tapi tetap saat itu dia tidak bisa menahan air mata yang berkaca di matanya. Dihadapannya tampak seorang balita berusia 3 tahun yang digendong oleh seorang perempuan tua berkulit kasar akibat banyak terbakar matahari. Perempuan tua itu nenek dari sang bocah. Sebut saja nama bocah itu bernama Fadya. Yatim piatu setelah kedua oranng tuanya meninggal lebih dulu karena terjangkit HIV yang diketahui terlambat. Tidak cukup menghabisi kedua orang tuanya, keganasan virus itu mulai mengancam Fadya.

Hasil tes CD-4 Fadya menunjukkan dia terinfeksi HIV dan harus menjalani pengobatan ARV. Dia memegang sebuah mainan berbentuk rumah-rumahan. Kondisi badannya kurus kering. Setelah orang tuanya meninggal dia dirawat sang nenek yang setiap hari mencari makan dengan berkebun di Kabupaten Way Kanan, Lampung. Setiap sang nenek bekerja, Fadya digendong di belakang.

Fadya mendapatkan virus itu dari ibunya. Ibu Fadya yang sudah almarhum tertular dari ayahnya, seorang sopir truk. Ayahnya meninggal empat tahun lalu, ibunya menyusul tiga setengah tahun berikutnya

CD-4 adalah sel dalam darah yang merupakan tipe limposit dan berfungsi untuk menjaga daya tahan di dalam tubuh.

Orang yang terinfeksi HIV dan memiliki kadar CD-4 yang lebih kecil dari angka normal, harus menjalani terapi ARV untuk meningkatkan kembali kadar sel CD-4 yang dia miliki, agar tetap bisa beraktivitas sebagaimana layaknya orang yang tidak terinfeksi HIV. Hasil tes CD-4 Fadya siang itu menunjukkan dia harus menjalani pengobatan ARV, sebuah terapi yang akan dia jalani seumur hidupnya.

Seperginya Fadya, Ade menangis.Emosinya meluap. Kepolosan sang bocah yang harus tertular HIV menjadi penyebabnya.

"Saya ingat orang rumah," kata dia.

Ade Komariah Indira adalah sosok sangat populer di kalangan Orang Terinfeksi HIV (OTH) yang menjalani terapi Anti retroviral (ARV) di klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek. Jabatannya sebagai manager kasus menjadi penyebabnya.

Saat ini Ade mendampingi delapan Orang terinfeksi HIV (OTH) yang mencakup seluruh wilayah Lampung, sebagian besar masih berstatus anak-anak dan tinggal di pelosok. Ada alasan khusus tentang "kegigihannya" dalam melakukan pendampingan tersebut. Motivasi yang sangat personal. Dia juga seorang ODHA yang sudah berani "Open status".

Ade terinfeksi HIV dari Sang suami, seorang penegak hukum yang menggunakan narkoba melalui jarum suntik. Mereka berpacaran sejak muda. Cinta yang menggebu membuat Ade tidak menolak dinikahi suaminya pada usia 17 tahun. Saat itulah Ade baru tahu tentang kebiasaan buruk suaminya yang berstatus napza.

"Masa muda saya dengan suami sangat bahagia, namun meskipun suami saya seorang napza, saya tidak ikut-ikut," kata Ade yang terus mensupport suaminya agar lepas dari ketergantungan narkoba pada saat itu. Beberapa kali dia mendorong suaminya melakukan rehab, tapi selalu berujung gagal.

Pernikahan bahagia itu membuahkan dua orang anak. Sulung berjenis kelamin perempuan dan lahir pada tahun 1998, dan yang kedua laki-laki lahir pada 2006.

Meski sudah memiliki dua orang anak, kebiasaan menggunakan narkoba suntik sang suami tidak kunjung sembuh dan diikuti dengan kondisi kesehatannya yang menurun drastis.

Kesadarannya dan suami tentang efek buruk penggunaan narkoba suntik tersebut baru dilakukan pada 2007, saat kondisi kesehatan sang suami mulai sakit-sakitan dan sering drop. Atas saran pihak rumah sakit yang merawat, mereka berdua disarankan melakukan tes CD-4, untuk mengetahui apakah keduanya terinfeksi HIV.

"Saat itulah saya baru tahu bahwa saya dan suami terinfeksi," kata dia.

Pada 2008 sang suami meninggal dunia karena sistem kekebalan tubuhnya sudah habis digerogoti HIV. Ade menjadi janda sekaligus orang tua tunggal kedua anaknya saat umurnya masih berusia 30 tahun. Tanggung jawab besar di usia yang masih sangat muda memaksanya untuk membanting tulang mencukupi kebutuhan kedua anaknya. Sempat bekerja di perusahaan asuransi selama hampir setahun. Pendapatan dari sana bersama pensiun sang suami menjadi andalan Ade untuk menghidupi keluarganya setiap bulan.

"Saat itu saya sempat 'down', tapi naluri saya mengatakan hal ini tidak boleh berlangsung lama. Anak-anak butuh makan dan biaya sekolah," kata dia.

Kondisi dia sebagai Orang terinfeksi HIV diketahui oleh pimpinannya di perusahaan asuransi tempatnya bekerja. Meski demikian, dia tidak mendapatkan perbedaan pelakuan apapun terhadap kondisinya, apalagi diskriminasi. Kondisi inilah yang menguatkan Ade, bahwa sebenarnya dia bisa bekerja layak sebagaimana orang-orang lain yang tidak terinfeksi HIV. Dia juga aktif di Organisasi sebaya "Jaringan Orang terinfeksi HIV (JOTHI)" Provinsi Lampung. Di organisasi tersebut dia mendapat banyak dukungan dari sesama orang terinfeksi yang kemudian berujung pada rasa optimistis. Life must go on, tekadnya.

Meski demikian, masih ada satu masalah yang belum terselesaikan. Ade belum melakukan tes CD-4 bagi kedua anaknya. Alasan belum siap menerima kenyataan menjadi penyebab Ade menunda tes tersebut selama ini. Dia tidak bisa menerima apabila hasil tes kedua anaknya positif. Ketakutan itu akhirnya luluh.Masukan dari teman-temannya di JOTHI Lampung mengantarkannya pada pintu gerbang penerimaan kenyataan tersebut. Pada 2009 dia melakukan tes CD-4 terhadap kedua putra-putrinya.

Hasil tes pada putrinya negatif.Ade lega. Namun saat melihat hasil tes putra kecilnya yang saat itu berusia tiga tahun, pertahanannya runtuh. Hasilnya positif.Naluri keibuan Ade memaksa dia menyalahkan keadaan dan tidak menerima kenyataan. Saat itulah Ade merasakan guncangan yang luar biasa.

"Saya betul-betul tidak terima buah hati saya yang baru berusia tiga tahun terinfeksi HIV," katanya saat tahu putra keduanya dinyatakan positif. Tidak terbayang di benak Ade saat sang buah hati yang tidak berdosa itu harus melakukan perawatan seumur hidup agar dirinya dapat beriaktivitas sebagaimana orang tidak terinfeksi.

"Saya merasa sangat bersalah, dan tiba-tiba benci dengan diri sendiri," kata dia.

Cukup lama Ade dalam kondisi seperti itu. Rasa bersalah berkepanjangan menyebabkan dirinya stagnan.

Akhirnya, melalui proses bertukar fikiran dengan teman-temannya di JOTHI Lampung, dia sampai pada kesimpulan bahwa kondisi itu harus dihadapi. Seburuk apapun hidup harus terus berlanjut dan kenyataan harus diterima.

Penghujung 2009, Ade memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan asuransi tempatnya bekerja. Ritme kerja yang gila-gilaan dan bertolak belakang dengan kondisi fisiknya yang tidak boleh terlalu capek menjadi alasan utama. Setelah mengundurkan diri tersebut, datang tawaran untuk menjadi manager kasus klinik VCT RSUDAM Lampung.

"Saat itu alasan saya adalah saya ingin berbuat banyak buat orang-orang yang seperti saya, termasuk mencegah agar HIV tidak menginfeksi bayi dan anak-anak mereka," kata Ade.

Pada Oktober 2010, untuk pertama kalinya, si bungsu mulai menjalani terapi ARV yang akan dijalaninya seumur hidup. Bukan sebuah hal yang mudah menyaksikan anak yang masih lucu-lucunya menjalani terapi ARV. Efek samping obat tersebut yang terkadang "tidak berperikemanusiaan" menjadi penyebab. Pada masa-masa awal terapi, si kecil mengalami demam dan badan merah-merah. Godaan untuk menghentikan terapi demikian besar. Namun Ade pasrah dengan kondisi itu. Tekad agar sang anak dapat hidup sebagaimana orang-orang non terinfeksi lebih kuat ketimbang melihat kondisi sesaat. Terapi sang anak dilanjutkan.


Alasan yang sama juga yang membuatnya menerima amanat dari rekan-rekannya di JOTHI sebagai Koordinator Provinsi JOTHI Lampung. Entah becanda atau serius, dia menyatakan hidupnya saat ini didedikasikannya secara penuh untuk penanggulangan HIV di Lampung.

Bersama JOTHI Lampung, dia bertekad untuk melakukan langkah advokasi penuh terhadap penanggulangan HIV di daerah itu. Saat ini, dia dan rekan-rekan sedang memperjuangkan diterbitkannya Perda HIV oleh pemerintah Bandarlampung untuk menjamin penanganan dan perlindungan terhadap Orang Terinfeksi HIV terus berjalan di daerah itu. Sedangkan sebagai manager kasus di klinik VCT RSUDAM, dia bertekad akan terus melakukan pendampingan dan menjadi teman curhat orang-orang yang menjalani terapi ARV di rumah sakit tersebut, yang hingga Oktober 2011 telah menyentuh angka 206 OTH dan 12 diantaranya adalah anak-anak.

"Saya hanya ingin anak saya dan ratusan anak yang potensial terinfeksi mendapatkan kehidupan dan perlakuan yang jauh lebih baik dibandingkan saat ini. Karena HIV hanyalah virus yang masuk ke tubuh seseorang, hanya perlu penanganan khusus dan tidak perlu distigmatisasi," Ade menegaskan.

Bandarlampung, Lampung, 28 November 2011.



Minggu, 10 Juli 2011

Lucky, Dapet Salam Dari Centong Nasi


Lagi, Tulisan lama yang coba saya pertahankan dan disave di sini. Semoga Berkenan
***


SINOPSIS: Sebuah negeri antah berantah berada di ambang bahaya karena terancam dikuasai oleh gerakan yang mengedepankan kekerasan dengan dalih penegakan moral. Seorang pahlawan lahir dari kaum minoritas, membasmi golongan hipokrit berwajah manis dan penggadai kehormatan

REVIEW AJI: Sesaat setelah menonton film ini, saya langsung berkata pada diri saya sendiri bahwa Lucky Kuswandi, sang Sutradara "Madame X", sedang membuat sebuah pernyataan dan pesan yang sangat-sangat "berbahaya". Sangat berbahaya karena dapat menimbulkan tedensius dan sikap permusuhan baru apabila ditonton dengan hati yang tidak bersih.

Ya, Dibutuhkan sebuah keterbukaan pikiran dan ketulusan hati dalam menyaksikan film ini. Sangat tidak dianjurkan bagi mereka yang berpikiran tertutup, pendek, dan antikeragaman.Karena sesungguhnya, film ini hanya memberikan kita cermin untuk mawas diri, tanpa bermaksud menunjuk hidung siapapun.

Lucky menyampaikan pesan yang sangat serius, dengan frontal, dan elegan. Siapapun yang berpikiran plural akan sependapat bahwa "Madame X" bukan hanya sekedar film konyol tentang superhero banci yang diperankan oleh "waria" terbaik di Indonesia, Amink. Sindiran yang dilontarkan sangat tegas dan tepat sasaran. Simbol-simbol yang digunakan sebagai elemen yang memperkuat pesan film sangat terasa dekat dan mewakili maksud terselubung yang ingin disampaikan sutradara.Bahkan, satu dialog paling cheesypun ("Saya tag di Facebook"), terasa sebagai sebuah tamparan keras tentang bagaimana situs jejaring sosial terbesar di dunia itu bisa menghancurkan karir seseorang dalam waktu singkat.Bukti bahwa proses penyampaian pesan di film ini efektif.

Akting seluruh pemain, Totally Awesome. Kredit tertinggi harus saya berikan pada "banci kenes" Aline (Joko Anwar). Dia sangat "Mencuri layar", dan memberikan saya kesimpulan bahwa Joko adalah calon "Legenda" perfilman nasional selanjutnya. Pujian lain layak diberikan kepada Amink, yang dari mikro ekspresinya saja sudah terlihat sangat memahami bagaimana seorang waria harus diperankan. Seandainya masih berkenan untuk mengikuti FFI, dengan juri selevel Christine Hakim dan Didi Petet (ah, saya bermimpi), Mereka berdua akan mendapatkan piala citra sebagai aktor (atau aktris?)dan pemeran pembantu pria(atau wanita?) terbaik.

Dengan mengambil premis superhero yang from zero, madame X dapat menjadi salah satu penambah ragam film superhero dunia. Sejajar dengan Batman, Spiderman, Hulk, bahkan yang terbaru, Kick Ass.Garis dan gaya yang dipilih untuk khas dan tidak mengekor film apapun terasa tegas. "madame X" mampu berdiri sendiri, dengan genre superhero yang belum terciptakan (setidaknya oleh perusahaan film mayor) di dunia, yaitu superhero abu-abu. Dia bukan geek seperti Peter Parker, bukan orang kaya seperti Bruce Wayne, bukan ilmuwan salah riset seperti David Banner, dia cuma banci salon yang ditakdirkan membela kaumnya untuk maju di garis terdepan melawan ketidakadilan dan kemunafikan.

Meski demikian, di luar itu semua, satu kredit plus yang membuat saya memuji Lucky Kuswandi di review ini.

Kredit itu adalah, Lucky hanya menggunakan plot dan premis tersebut untuk membungkus "pesan seius" yang ingin dia sampaikan. Dan sejauh ini, hal itu berhasil. Film "pesan serius" ini bisa diputar di seluruh bioskop di Indonesia Tanpa perlu dibabat oleh Lembaga Sensor Film.

NB: Saya termasuk beruntung menyaksikan film ini
saat Gala Premiere, dimana banyak banci sosialita bertebaran di sana. Setelah nonton, seorang "banci" yang sepanjang acara gala bersikap norak demi menghibur hadirin, berdiri di samping saya dengan wajah kelelahan.
Berbeda dengan pandangan saya terhadap sosok ini sebelumnya. Kali ini, saya iba, lalu menyuruh dia duduk di samping, tanpa pretensi apapun.

Thank U, Lucky Kuswandi....

Warkop, Sinema Es doger, dan Dunia lawak Indonesia


"Kalian kalau mau bikin film jangan sama saya, Teater populer itu ibaratnya tukang bikin es krim. Nah kalian bikin es doger aja, pasti laku, banyak orang senang,"

Perkataan itu keluar dari mulut seorang Teguh Karya kepada Warkop saat bertandang ke Teater Populer menjelang pembuatan film pertama mereka, Mana Tahan, pada tahun 1979. Banyak yang tidak tahu, di balik tampilan film Warkop yang menurut sebagian orang dianggap sebagai "komedi rendah yang melecehkan daya nalar" itu, mereka mempersiapkan peluncuran perdananya ke layar lebar justru dengan langkah yang sangat serius. Berguru dan berkonsultasi dengan Teguh Karya itu buktinya. Hasilnya, tidak percuma. Pernyataan jujur yang bagi saya agak nyelekit itu perlahan menjadi kenyataan. Setelah 34 film dengan Warkop sebagai ikonnya, mereka menjadi sebuah sosok yang sulit terlupakan bagi siapapun, pembenci Warkop sekalipun.

Warkop adalah Guilty pleasure. Warkop adalah hiburan yang menyenangkan di kala lebaran. Warkop berarti cewek seksi. Warkop berarti pantai dan bikini. Warkop berarti anak kost yang tidak jelas pekerjaannya apa, namun selalu beruntung bisa jalan sama cewek-cewek cantik yang menjadi impian basah jutaan pria di dunia.

Begitulah analogi yang akan dikeluarkan sebagian orang saat diberi kata kunci Warkop. Pengalaman menyaksikan film-film warkop dengan repetisi yang nyaris tidak terhitung jumlahnya secara otomatis mengarahkan imajinasi kepada hal-hal tersebut. Tidak bisa disalahkan, beberapa film Warkop, utamanya dalam lima tahun menjelang akhir karir film mereka, nyaris membunuh logika. Mengajak penonton masuk ke dalam bioskop dengan menanggalkan otak mereka sebelumnya jauh di luar gedung. Sebagian mengatakan Warkop merupakan produk komedi tanpa mutu, sebagian lagi mengatakan Warkop kehilangan kejeniusannya yang menjadi ciri khas mereka saat di panggung.

"Kami sendiri sebenarnya risih kok, tetapi yang nonton warkop malah tidak pernah surut, mereka nekat nonton film kami, film bagi kami memang naluri bisnis," kata Kasino, pada Harian Kompas edisi 12 April 2002 , yang ditulis ulang oleh Denny Sakrie.

Sedangkan Indro punya alasan lain, mengenai kesan "abmoralnya" film-film mereka itu, "Yang nonton film warkop sangat beragam, tidak seperti pendengar radio kami yang rata-rata kalangan menengah ke atas, makanya standarnya sedikit diturunkan," kata dia.

***

Banyak yang melupakan Warkop DKI adalah pelopor lawakan cerdas ala mahasiswa yang sangat populer saat mereka bersiaran di Radio Prambors pada akhir 1970-an.

Saat itu, mereka tampil dengan pola penceritaan ala ngobrol di warung kopi, dengan jumlah personel yang masih sangat banyak.Selain Dono dan Kasino, ada Rudi Badil (yang kemudian mengundurkan diri dan menjadi wartawan harian Kompas), dan Nanu, sang gitaris dengan paras ala Mick Jagger, (serius, dia sangat jago bermain gitar).

Saat itu, ada semacam gengsi tersendiri saat bisa mencerna lawakan Warkop. Lawakan mereka dikenal Bernas dan Cerdas, khas becandaan ala mahasiswa. Indro memiliki istilah tersendiri tentang hal itu, becanda otak. Dia menyamakan guyonan mereka saat itu dengan stand up comedy ala pelawak Amerika Serikat.

Konsep humor mereka memang di luar kelaziman pada era itu. Lawakan mereka cenderung konseptual. Warkop menjadi grup lawak pertama di Indonesia yang memperkenalkan sistem manajerial terarah dan terkonsep. Mereka memiliki penulis naskah, penata kostum, make up, manager, yang semuanya dihargai secara profesional. Sesuatu yang sama sekali belum terpikirkan oleh pelawak lain pada zamannya.

Mengenai keterampilan, para personel Warkop terbilang sangat mumpuni dan lengkap. Tidak hanya jago melawak, mereka juga piawai bermusik. Hampir semua musisi besar Indonesia pernah terlibat kerjasama untuk mengasah kemampuan musikal mereka. Sebut nama Franky Raden, Jokie Suryoprayogo, Gatot Soedarto, Oddie Agam. Lintas genre, lintas generasi. Lupakan team Lo, P project, atau Project Pop, karena mereka telah mengawali hal itu, jauh sebelum grup-grup itu dibentuk.

Sayangnya, kata "legenda" belum sudi hinggap pada sosok mereka. Pencitraan akibat 34 film penuh perempuan seksi itu menghadirkan imaji yang sama sekali bertolak belakang dengan keinginan.
***

Sebelum wafat, Dono dan Kasino pernah berseloroh bahwa mereka ingin menjadi "sesuatu" dalam dunia lawak Indonesia. Mereka tidak ingin hanya dikenal karena film-film mereka yang dipenuhi wanita seksi nan mengumbar aurat. Sejarah hanya mencatat sepak terjang mereka dalam dunia lawak, namun tidak terdokumentasi.

Hampir sepuluh tahun setelah kematian Dono, Indro berhasil mewujudkan impian itu. Bersama tim, dan orang-orang yang sangat cinta Warkop, dia membuat sebuah buku berjudul "Warkop, main-main menjadi bukan main", yang dilaunching resmi kepada publik pada 10 November 2010 lalu. Ditulis oleh beberapa penulis yang sangat cinta mati dengan grup itu, "main-main..." seolah dapat memberi lentera atas kegelapan sejarah Warkop yang tidak terlihat oleh pandangan mata publik selama ini.

Segala sepak terjang yang tercecer dikumpulkan. Jasa dalam dunia lawak yang terserak dijilid dalam ratusan halaman. Meski tidak akan mampu mendokumentasikan semua perjalanan Warkop DKI, namun cukup layak hadir. Karena mencatat segala hal penting dalam karir Warkop, mulai insiden Es Doger, hingga kolaborasi gila mereka dengan kelompok lawak Srimulat.

Warkop memasuki babak baru. Arah untuk menjadi legenda dalam dunia lawak dan terabadikan sudah tampak. Buku itu mungkin merupakan awal dari pengakuan atas kebesaran mereka yang nyaris tidak terasa. Dokumentasi atas karya mereka yang lain layak menjadi langkah selanjutnya. 34 film dan 12 album kaset Warkop menanti untuk di retouch dan remastering. Sebuah warisan berharga bukan hanya atas sosok yang memperkenalkan genre komedi sensual pada dunia film Indonesia, namun juga sosok yang memberi pelajaran penting bagi dunia lawak di Indonesia.
Bahwa, Pelawak itu musti punya otak.

"Gila lu, Ndro!"

MANDA DAN WAJAH PENANGGULANGAN HIV DI LAMPUNG


Ini Tulisan depth investigasion saya yang dimuat di ANTARA, semoga bermanfaat buat semua, CHEERS!

****
Perempuan berwajah bulat dengan rambut lurus panjang itu masih berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya.

Nada suaranya menekankan bahwa lawan bicaranya harus lebih tenang, dan tetap fokus untuk mengambil sampel darah, sesuai yang dia perintahkan.

"Iya, pokoknya sampel darah adiknya diambil dulu ya ibu, setelah itu baru kemari, tidak usah bayar lagi, kan sudah kemarin," kata dia, yang kemudian menutup telepon.

Nama perempuan itu Ade Komariah Indira, manager kasus HIV Klinik Voluntering Conceling and Testing (VCT) Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek (RSUDAM) sekaligus Koordinator Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) Provinsi Lampung, dan yang dia telepon adalah wali dari salah seorang bocah empat tahun asal Kabupaten Way Kanan yang terinfeksi HIV, sebut saja namanya Manda (4).

Saat itu, dia sedang menunggu hasil uji Laboratorium kadar CD4 dalam darah Manda, untuk menentukan metode pengobatan selanjutnya bagi balita yang terinfeksi HIV dari ibunya itu.

CD-4 adalah sel dalam darah yang merupakan tipe limposit dan berfungsi untuk menjaga daya tahan di dalam tubuh.

Orang yang terinfeksi HIV dan memiliki kadar CD-4 yang lebih kecil dari 800, harus menjalani terapi ARV untuk meningkatkan kembali kadar sel CD-4 yang dia miliki.

"Ibunya tertular dari ayahnya yang supir truk, ayahnya meninggal empat tahun lalu, ibunya menyusul tiga setengah tahun berikutnya, sekarang Manda diasuh neneknya," cerita Ade tentang bocah malang itu.

Saat ini Ade mendampingi delapan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang mencangkup seluruh wilayah Lampung, sebagian besar masih berstatus anak-anak dan tinggal di pelosok.

Tentang "kegigihannya" dalam melakukan pendampingan ini rupanya didorong oleh motivasi yang sangat personal, karena dia juga seorang ODHA yang sudah berani "Open status".

Perempuan berusia 30 dengan dua anak itu mengaku mendapatkan virus itu dari almarhum suaminya, seorang pengguna narkoba jenis jarus suntik.

Seperti Manda, virus itu juga menginfeksi tubuh anak bungsunya yang berusia tiga setengah tahun.

"Kami menjalani terapi ARV secara teratur, syukurlah masih berada pada lini pertama," kata dia, tersenyum.

***

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nafsiah Mboi, dalam acara workshop wartawan dan populasi kunci dalam strategi penanggulanan HIV/AIDS di Jakarta, beberapa waktu lalu mengungkapkan, jutaan bayi di Indonesia berpotensi tertular HIV/AIDS dari ibunya apabila tidak ada upaya serius dari semua pihak untuk melakukan pencegahan.

"Potensi perempuan berisiko terkena HIV karena bersuami pria yang mengidap virus tersebut adalah sebanyak 1,6 juta orang, sedangkan data hingga Maret 2011 menyebutkan sebanyak 2.160 ibu rumah tangga telah tertular," kata dia.

Menurut dia, ibu rumah tangga merupakan kalangan terinfeksi HIV/AIDS tertinggi dari kalangan perempuan di Indonesia saat ini, jauh melebihi penjaja seks yang jumlahnya hanya mencapai 457 orang.

Jumlah kasus AIDS hingga Maret 2011 di Indonesia adalah sebanyak 24.482 kasus, dan lebih dari 50 persen diantaranya ditularkan melalui hubungan seks heteroseksual.

Jumlah kasus AIDS dengan penularan melalui hubungan heteroseksual mencapai 13 ribu kasus, melalui jarum suntik sebanyak 9.279, dan penularan dari orang tua terhadap anak sebanyak 637 kasus.

Menurut Nafsiah, terjadi perubahan pola penularan pada akumulasi kasus HIV/AIDS pada 2011 dibandingkan 2006, dari penggunaan jarum suntik menjadi hubungan seks heteroseksual.

"Pada 2006 penularan melalui jarum suntik mencapai 50,3 persen dari jumlah keseluruhan kasus pada saat itu, sedangkan pada 2010, menurun menjadi 38,4 persen," kata dia.

Sebaliknya, terjadi perubahan signifikan pada penularan melalui hubungan seks heteroseksual, yang meningkat dari hanya 40,3 persen dari keseluruhan kasus pada 2006, menjadi 52,7 persen pada 2010.

Penyebaran melalui hubungan seks heteroseksual itu bukan hanya terjadi di tempat pelacuran, namun juga pada kalangan rumah tangga, yang biasanya ditularkan oleh suami kepada istrinya.

"Sebagian besar karena prilaku seks tidak menikah tanpa menggunakan kondom," kata dia.

Nafsiah melanjutkan, kampanye penggunaan kondom pada tempat-tempat yang berpotensi tinggi terjadinya penularan HIV secara masif menjadi hal mutlak, apabila ingin meminimalkan penyebaran virus tersebut.

"Termasuk di lokalisasi, yang merupakan salah satu tempat potensial penularan HIV," kata dia.

Sayangnya, meskipun sudah dicanangkan gerakan penggunaan kondom seratus persen, Sosialisasi tenatng penggunaan kondom 100 persen pada lokalisasi di Bandarlampung, sebagai salah satu tempat penyebaran HIV berisiko tinggi, belum maksimal.

"Seharusnya sosialisasi tersebut harus didukung oleh mucikari sebagai pemegang kekuasaan penuh di lokalisasi," kata salah satu penghuni lokalisasi yang juga aktivis penanggulangan HIV, sebut saja namanya Seila (32).

Menurut dia, mucikari memiliki pengaruh besar dalam menyebarkan kebijakan wajib mengenakan kondom bagi segala aktivitas di lokalisasi, karena masih banyak tamu yang enggan menggunakannya saat melakukan aktivitas seks.

"Wanita pekerja seks tidak dapat berbuat apa-apa kalau konsumen enggan memakai kondom, jadi harus ada tekanan dari mucikari kepada tamu," kata dia.

Hasil tes HIV terbaru di lokalisasi di Panjang menyebutkan, enam wanita pekerja seks (WPS) di tempat itu dinyatakan positif terinfeksi HIV.

"Itu merupakan hasil tes pada tanggal 3 Mei 2011 lalu, yang dilakukan secara sukarela oleh 20 penghuni," kata ketua Organisasi Pekerja Seks Indonesia (OPSI) Provinsi Lampung, yang menjadi mitra KPAI dalam penanganan penyebaran HIV di lokalisasi, Maya (32).

Dalam semalam, mereka biasa melayani empat sampai lima tamu, dan hampir semuanya tidak menggunakan kondom.

Jumlah WPS yang melakukan aktivitas tersebar pada dua lokalisasi di Bandarlampung, Pantai Harapan dan Pemandangan sekitar 300-an orang.

Sepanjang 2011, sudah dua kali diadakan tes HIV pada salah satu lokalisasi, yaitu Pemandangan.

Tes pertama,yang dilakukan secara "door to door" pada Februari 2011,dan mampu menjangkau 140-an WPS di tempat itu menyatakan, lima diantaranya positif terinfeksi HIV.

Sedangkan pada tes kedua yang dilakukan Mei 2011, jumlah WPS yang terinfeksi bertambah satu orang, menjadi enam penghuni.

"Apabila kampanye penggunaan kondom tidak dimaksimalkan, tidak menutup kemungkinan para laki-laki yang terinfeksi dan sudah menikah itu menularkan virus itu kepada istri-istri mereka," kata dia.

***

Berdasarkan data KPA Kota Bandarlampung, jumlah kasus HIV/AIDS di kota itu sejak 2005 hingga Maret 2011 adalah sebanyak 214 kasus.

Data tersebut menunjukkan, bahwa ada peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Bandarlampung, dan epidemik itu merupakan fenomena gunung es, karena masih banyak orang dengan HIV AIDS (ODHA) yang belum terdata dan tertangani.

Ketua I Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Bandarlampung, Eva Dwiyana Herman HN, mengakui, telah terjadi peningkatan epidemi HIV yang signifikan dalam lima tahun terakhir di Bandarlampung, dengan penularan utama terjadi akibat hubungan seksual beresiko, dan penggunaan jarum suntik secara bersama.

Data pada klinik VCT RSUDAM Lampung menunjukan, sekitar 214 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di daerah itu telah menjalani terapi antiretroviral (ARV) secara rutin .

ODHA yang menjalani terapi ARV di klinik VCT RSUDAM Lampung berasal dari 14 kabupaten/kota di Lampung.

Sedangkan sekitar seratusan kasus HIV baru hasil uji tes klinik VCT terhadap orang beresiko tertular di daerah itu, belum mendapatkan terapi pengobatan Anti Retroviral (ARV) karena masih memiliki kadar CD-4 yang masih tinggi.

Cepat atau lambat mereka akan menjalani terapi ARV untuk mempertahankan daya tahan dan sistem kekebalan tubuh mereka.

Ada lima jenis obat ARV yang biasa dikonsumsi ODHA di klinik VCT RSUDAM Lampung, yaitu jenis AZT, 3TC, D4T, Nevirapin, dan Evaviren.

Masing-masing ODHA biasanya mengonsumsi tiga diantaranya, tergantung mana yang cocok dengan tubuh mereka.

Koordinator VCT RSUDAM Lampung Henny Muharawati, menjelaskan, mereka semua menjalani terapi dengan mengonsumsi obat ARV bagi pengidap HIV yang berada pada "lini pertama" tahapan infeksi virus tersebut.

"Kasus di Lampung belum menemukan ODHA yang memasuki tahap terinfeksi HIV pada lini kedua, jadi kita belum menyediakan obatnya," kata dia.

Menurut Henny, ketersediaan obat di klinik VCT RSUDAM Bandarlampung sangat tergantung dengan kondisi ODHA di daerah itu, dan dapat langsung melakukan "order" dengan Kementerian Kesehatan apabila ada kekurangan obat.

"Ketersediaan obat ARV di masing-masing daerah berbeda-beda, sangat tergantung dengan kondisi ODHA yang menjalani terapi di sana," kata dia.

Untuk pencegahan, sejumlah program yang telah dilakukan oleh KPA Kota Bandarlampung selama ini, melalui lintas instansi adalah pencegahan melalui transmisi seksual untuk masyarakat yang mempunyai perilaku seks beresiko tinggi, dengan kampanye penggunaan kondom 100 persen.

Selain itu, program lain yang telah digulirkan adalah dengan Harm Reduction (HR) yang membagikan jarum suntik steril melalui 13 puskesmas di Bandarlampung, untuk mengurangi penyebaran HIV via jarum suntik.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) Lampung, Ade Komariah mengatakan, kondisi saat ini memaksa siapapun untuk mewaspadai penyebaran virus HIV di berbagai lini dan tempat, tidak terbatas hanya pada daerah dengan resiko tinggi.

"Penjangkauan sosialisasi penanggulangan HIV baru mencapai ibukota kabupaten, belum menyeluruh hingga ke pelosok, padahal beberapa ODHA yang saya dampingi justru berasal bukan dari kawasan perkotaan, jadi penambahan tenaga penjangkau mutlak diperlukan," kata dia.

Menurut dia, masih banyak ODHA di Lampung yang belum tersentuh sosialisasi sehingga belum memahami bagaimana penanggulangan terhadap virus tersebut.

"Rata-rata mereka tinggal di pelosok yang tidak tersentuh media informasi dan sosialisasi, dan pada kondisi inilah kebijakan penambahan petugas pejangkau menjadi penting," kata dia.

***

Kembali ke Manda, bocah berusia empat tahun yang didampingi Ade, siang itu telah tiba di klinik VCT RSUDAM Lampung dan membawa sampel darahnya, termasuk data kadar CR-4 terkini.

Manda,yang masih balita itu, memegang sebuah mainan kecil berbentuk rumah-rumahan, digendong neneknya, dan tidak berhenti tersenyum.

Senyumnya itu seolah tidak mempedulikan berat badan dan sistem kekebalan tubuhnya yang semakin menurun akibat tergerogoti HIV, dan mengantarnya ke RSUDAM siang itu untuk memulai terapi rutin yang akan dia jalani seumur hidupnya.

Dengan tatapan mata penuh harap, seolah dia menyampaikan isi hatinya kepada Ade, yang juga memandangnya penuh otimisme, "Aku ingin hidup seribu tahun lagi,".