Minggu, 10 Juli 2011

MANDA DAN WAJAH PENANGGULANGAN HIV DI LAMPUNG


Ini Tulisan depth investigasion saya yang dimuat di ANTARA, semoga bermanfaat buat semua, CHEERS!

****
Perempuan berwajah bulat dengan rambut lurus panjang itu masih berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya.

Nada suaranya menekankan bahwa lawan bicaranya harus lebih tenang, dan tetap fokus untuk mengambil sampel darah, sesuai yang dia perintahkan.

"Iya, pokoknya sampel darah adiknya diambil dulu ya ibu, setelah itu baru kemari, tidak usah bayar lagi, kan sudah kemarin," kata dia, yang kemudian menutup telepon.

Nama perempuan itu Ade Komariah Indira, manager kasus HIV Klinik Voluntering Conceling and Testing (VCT) Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek (RSUDAM) sekaligus Koordinator Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) Provinsi Lampung, dan yang dia telepon adalah wali dari salah seorang bocah empat tahun asal Kabupaten Way Kanan yang terinfeksi HIV, sebut saja namanya Manda (4).

Saat itu, dia sedang menunggu hasil uji Laboratorium kadar CD4 dalam darah Manda, untuk menentukan metode pengobatan selanjutnya bagi balita yang terinfeksi HIV dari ibunya itu.

CD-4 adalah sel dalam darah yang merupakan tipe limposit dan berfungsi untuk menjaga daya tahan di dalam tubuh.

Orang yang terinfeksi HIV dan memiliki kadar CD-4 yang lebih kecil dari 800, harus menjalani terapi ARV untuk meningkatkan kembali kadar sel CD-4 yang dia miliki.

"Ibunya tertular dari ayahnya yang supir truk, ayahnya meninggal empat tahun lalu, ibunya menyusul tiga setengah tahun berikutnya, sekarang Manda diasuh neneknya," cerita Ade tentang bocah malang itu.

Saat ini Ade mendampingi delapan Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) yang mencangkup seluruh wilayah Lampung, sebagian besar masih berstatus anak-anak dan tinggal di pelosok.

Tentang "kegigihannya" dalam melakukan pendampingan ini rupanya didorong oleh motivasi yang sangat personal, karena dia juga seorang ODHA yang sudah berani "Open status".

Perempuan berusia 30 dengan dua anak itu mengaku mendapatkan virus itu dari almarhum suaminya, seorang pengguna narkoba jenis jarus suntik.

Seperti Manda, virus itu juga menginfeksi tubuh anak bungsunya yang berusia tiga setengah tahun.

"Kami menjalani terapi ARV secara teratur, syukurlah masih berada pada lini pertama," kata dia, tersenyum.

***

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nafsiah Mboi, dalam acara workshop wartawan dan populasi kunci dalam strategi penanggulanan HIV/AIDS di Jakarta, beberapa waktu lalu mengungkapkan, jutaan bayi di Indonesia berpotensi tertular HIV/AIDS dari ibunya apabila tidak ada upaya serius dari semua pihak untuk melakukan pencegahan.

"Potensi perempuan berisiko terkena HIV karena bersuami pria yang mengidap virus tersebut adalah sebanyak 1,6 juta orang, sedangkan data hingga Maret 2011 menyebutkan sebanyak 2.160 ibu rumah tangga telah tertular," kata dia.

Menurut dia, ibu rumah tangga merupakan kalangan terinfeksi HIV/AIDS tertinggi dari kalangan perempuan di Indonesia saat ini, jauh melebihi penjaja seks yang jumlahnya hanya mencapai 457 orang.

Jumlah kasus AIDS hingga Maret 2011 di Indonesia adalah sebanyak 24.482 kasus, dan lebih dari 50 persen diantaranya ditularkan melalui hubungan seks heteroseksual.

Jumlah kasus AIDS dengan penularan melalui hubungan heteroseksual mencapai 13 ribu kasus, melalui jarum suntik sebanyak 9.279, dan penularan dari orang tua terhadap anak sebanyak 637 kasus.

Menurut Nafsiah, terjadi perubahan pola penularan pada akumulasi kasus HIV/AIDS pada 2011 dibandingkan 2006, dari penggunaan jarum suntik menjadi hubungan seks heteroseksual.

"Pada 2006 penularan melalui jarum suntik mencapai 50,3 persen dari jumlah keseluruhan kasus pada saat itu, sedangkan pada 2010, menurun menjadi 38,4 persen," kata dia.

Sebaliknya, terjadi perubahan signifikan pada penularan melalui hubungan seks heteroseksual, yang meningkat dari hanya 40,3 persen dari keseluruhan kasus pada 2006, menjadi 52,7 persen pada 2010.

Penyebaran melalui hubungan seks heteroseksual itu bukan hanya terjadi di tempat pelacuran, namun juga pada kalangan rumah tangga, yang biasanya ditularkan oleh suami kepada istrinya.

"Sebagian besar karena prilaku seks tidak menikah tanpa menggunakan kondom," kata dia.

Nafsiah melanjutkan, kampanye penggunaan kondom pada tempat-tempat yang berpotensi tinggi terjadinya penularan HIV secara masif menjadi hal mutlak, apabila ingin meminimalkan penyebaran virus tersebut.

"Termasuk di lokalisasi, yang merupakan salah satu tempat potensial penularan HIV," kata dia.

Sayangnya, meskipun sudah dicanangkan gerakan penggunaan kondom seratus persen, Sosialisasi tenatng penggunaan kondom 100 persen pada lokalisasi di Bandarlampung, sebagai salah satu tempat penyebaran HIV berisiko tinggi, belum maksimal.

"Seharusnya sosialisasi tersebut harus didukung oleh mucikari sebagai pemegang kekuasaan penuh di lokalisasi," kata salah satu penghuni lokalisasi yang juga aktivis penanggulangan HIV, sebut saja namanya Seila (32).

Menurut dia, mucikari memiliki pengaruh besar dalam menyebarkan kebijakan wajib mengenakan kondom bagi segala aktivitas di lokalisasi, karena masih banyak tamu yang enggan menggunakannya saat melakukan aktivitas seks.

"Wanita pekerja seks tidak dapat berbuat apa-apa kalau konsumen enggan memakai kondom, jadi harus ada tekanan dari mucikari kepada tamu," kata dia.

Hasil tes HIV terbaru di lokalisasi di Panjang menyebutkan, enam wanita pekerja seks (WPS) di tempat itu dinyatakan positif terinfeksi HIV.

"Itu merupakan hasil tes pada tanggal 3 Mei 2011 lalu, yang dilakukan secara sukarela oleh 20 penghuni," kata ketua Organisasi Pekerja Seks Indonesia (OPSI) Provinsi Lampung, yang menjadi mitra KPAI dalam penanganan penyebaran HIV di lokalisasi, Maya (32).

Dalam semalam, mereka biasa melayani empat sampai lima tamu, dan hampir semuanya tidak menggunakan kondom.

Jumlah WPS yang melakukan aktivitas tersebar pada dua lokalisasi di Bandarlampung, Pantai Harapan dan Pemandangan sekitar 300-an orang.

Sepanjang 2011, sudah dua kali diadakan tes HIV pada salah satu lokalisasi, yaitu Pemandangan.

Tes pertama,yang dilakukan secara "door to door" pada Februari 2011,dan mampu menjangkau 140-an WPS di tempat itu menyatakan, lima diantaranya positif terinfeksi HIV.

Sedangkan pada tes kedua yang dilakukan Mei 2011, jumlah WPS yang terinfeksi bertambah satu orang, menjadi enam penghuni.

"Apabila kampanye penggunaan kondom tidak dimaksimalkan, tidak menutup kemungkinan para laki-laki yang terinfeksi dan sudah menikah itu menularkan virus itu kepada istri-istri mereka," kata dia.

***

Berdasarkan data KPA Kota Bandarlampung, jumlah kasus HIV/AIDS di kota itu sejak 2005 hingga Maret 2011 adalah sebanyak 214 kasus.

Data tersebut menunjukkan, bahwa ada peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Bandarlampung, dan epidemik itu merupakan fenomena gunung es, karena masih banyak orang dengan HIV AIDS (ODHA) yang belum terdata dan tertangani.

Ketua I Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Bandarlampung, Eva Dwiyana Herman HN, mengakui, telah terjadi peningkatan epidemi HIV yang signifikan dalam lima tahun terakhir di Bandarlampung, dengan penularan utama terjadi akibat hubungan seksual beresiko, dan penggunaan jarum suntik secara bersama.

Data pada klinik VCT RSUDAM Lampung menunjukan, sekitar 214 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di daerah itu telah menjalani terapi antiretroviral (ARV) secara rutin .

ODHA yang menjalani terapi ARV di klinik VCT RSUDAM Lampung berasal dari 14 kabupaten/kota di Lampung.

Sedangkan sekitar seratusan kasus HIV baru hasil uji tes klinik VCT terhadap orang beresiko tertular di daerah itu, belum mendapatkan terapi pengobatan Anti Retroviral (ARV) karena masih memiliki kadar CD-4 yang masih tinggi.

Cepat atau lambat mereka akan menjalani terapi ARV untuk mempertahankan daya tahan dan sistem kekebalan tubuh mereka.

Ada lima jenis obat ARV yang biasa dikonsumsi ODHA di klinik VCT RSUDAM Lampung, yaitu jenis AZT, 3TC, D4T, Nevirapin, dan Evaviren.

Masing-masing ODHA biasanya mengonsumsi tiga diantaranya, tergantung mana yang cocok dengan tubuh mereka.

Koordinator VCT RSUDAM Lampung Henny Muharawati, menjelaskan, mereka semua menjalani terapi dengan mengonsumsi obat ARV bagi pengidap HIV yang berada pada "lini pertama" tahapan infeksi virus tersebut.

"Kasus di Lampung belum menemukan ODHA yang memasuki tahap terinfeksi HIV pada lini kedua, jadi kita belum menyediakan obatnya," kata dia.

Menurut Henny, ketersediaan obat di klinik VCT RSUDAM Bandarlampung sangat tergantung dengan kondisi ODHA di daerah itu, dan dapat langsung melakukan "order" dengan Kementerian Kesehatan apabila ada kekurangan obat.

"Ketersediaan obat ARV di masing-masing daerah berbeda-beda, sangat tergantung dengan kondisi ODHA yang menjalani terapi di sana," kata dia.

Untuk pencegahan, sejumlah program yang telah dilakukan oleh KPA Kota Bandarlampung selama ini, melalui lintas instansi adalah pencegahan melalui transmisi seksual untuk masyarakat yang mempunyai perilaku seks beresiko tinggi, dengan kampanye penggunaan kondom 100 persen.

Selain itu, program lain yang telah digulirkan adalah dengan Harm Reduction (HR) yang membagikan jarum suntik steril melalui 13 puskesmas di Bandarlampung, untuk mengurangi penyebaran HIV via jarum suntik.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) Lampung, Ade Komariah mengatakan, kondisi saat ini memaksa siapapun untuk mewaspadai penyebaran virus HIV di berbagai lini dan tempat, tidak terbatas hanya pada daerah dengan resiko tinggi.

"Penjangkauan sosialisasi penanggulangan HIV baru mencapai ibukota kabupaten, belum menyeluruh hingga ke pelosok, padahal beberapa ODHA yang saya dampingi justru berasal bukan dari kawasan perkotaan, jadi penambahan tenaga penjangkau mutlak diperlukan," kata dia.

Menurut dia, masih banyak ODHA di Lampung yang belum tersentuh sosialisasi sehingga belum memahami bagaimana penanggulangan terhadap virus tersebut.

"Rata-rata mereka tinggal di pelosok yang tidak tersentuh media informasi dan sosialisasi, dan pada kondisi inilah kebijakan penambahan petugas pejangkau menjadi penting," kata dia.

***

Kembali ke Manda, bocah berusia empat tahun yang didampingi Ade, siang itu telah tiba di klinik VCT RSUDAM Lampung dan membawa sampel darahnya, termasuk data kadar CR-4 terkini.

Manda,yang masih balita itu, memegang sebuah mainan kecil berbentuk rumah-rumahan, digendong neneknya, dan tidak berhenti tersenyum.

Senyumnya itu seolah tidak mempedulikan berat badan dan sistem kekebalan tubuhnya yang semakin menurun akibat tergerogoti HIV, dan mengantarnya ke RSUDAM siang itu untuk memulai terapi rutin yang akan dia jalani seumur hidupnya.

Dengan tatapan mata penuh harap, seolah dia menyampaikan isi hatinya kepada Ade, yang juga memandangnya penuh otimisme, "Aku ingin hidup seribu tahun lagi,".

Tidak ada komentar: