Minggu, 10 Juli 2011

Warkop, Sinema Es doger, dan Dunia lawak Indonesia


"Kalian kalau mau bikin film jangan sama saya, Teater populer itu ibaratnya tukang bikin es krim. Nah kalian bikin es doger aja, pasti laku, banyak orang senang,"

Perkataan itu keluar dari mulut seorang Teguh Karya kepada Warkop saat bertandang ke Teater Populer menjelang pembuatan film pertama mereka, Mana Tahan, pada tahun 1979. Banyak yang tidak tahu, di balik tampilan film Warkop yang menurut sebagian orang dianggap sebagai "komedi rendah yang melecehkan daya nalar" itu, mereka mempersiapkan peluncuran perdananya ke layar lebar justru dengan langkah yang sangat serius. Berguru dan berkonsultasi dengan Teguh Karya itu buktinya. Hasilnya, tidak percuma. Pernyataan jujur yang bagi saya agak nyelekit itu perlahan menjadi kenyataan. Setelah 34 film dengan Warkop sebagai ikonnya, mereka menjadi sebuah sosok yang sulit terlupakan bagi siapapun, pembenci Warkop sekalipun.

Warkop adalah Guilty pleasure. Warkop adalah hiburan yang menyenangkan di kala lebaran. Warkop berarti cewek seksi. Warkop berarti pantai dan bikini. Warkop berarti anak kost yang tidak jelas pekerjaannya apa, namun selalu beruntung bisa jalan sama cewek-cewek cantik yang menjadi impian basah jutaan pria di dunia.

Begitulah analogi yang akan dikeluarkan sebagian orang saat diberi kata kunci Warkop. Pengalaman menyaksikan film-film warkop dengan repetisi yang nyaris tidak terhitung jumlahnya secara otomatis mengarahkan imajinasi kepada hal-hal tersebut. Tidak bisa disalahkan, beberapa film Warkop, utamanya dalam lima tahun menjelang akhir karir film mereka, nyaris membunuh logika. Mengajak penonton masuk ke dalam bioskop dengan menanggalkan otak mereka sebelumnya jauh di luar gedung. Sebagian mengatakan Warkop merupakan produk komedi tanpa mutu, sebagian lagi mengatakan Warkop kehilangan kejeniusannya yang menjadi ciri khas mereka saat di panggung.

"Kami sendiri sebenarnya risih kok, tetapi yang nonton warkop malah tidak pernah surut, mereka nekat nonton film kami, film bagi kami memang naluri bisnis," kata Kasino, pada Harian Kompas edisi 12 April 2002 , yang ditulis ulang oleh Denny Sakrie.

Sedangkan Indro punya alasan lain, mengenai kesan "abmoralnya" film-film mereka itu, "Yang nonton film warkop sangat beragam, tidak seperti pendengar radio kami yang rata-rata kalangan menengah ke atas, makanya standarnya sedikit diturunkan," kata dia.

***

Banyak yang melupakan Warkop DKI adalah pelopor lawakan cerdas ala mahasiswa yang sangat populer saat mereka bersiaran di Radio Prambors pada akhir 1970-an.

Saat itu, mereka tampil dengan pola penceritaan ala ngobrol di warung kopi, dengan jumlah personel yang masih sangat banyak.Selain Dono dan Kasino, ada Rudi Badil (yang kemudian mengundurkan diri dan menjadi wartawan harian Kompas), dan Nanu, sang gitaris dengan paras ala Mick Jagger, (serius, dia sangat jago bermain gitar).

Saat itu, ada semacam gengsi tersendiri saat bisa mencerna lawakan Warkop. Lawakan mereka dikenal Bernas dan Cerdas, khas becandaan ala mahasiswa. Indro memiliki istilah tersendiri tentang hal itu, becanda otak. Dia menyamakan guyonan mereka saat itu dengan stand up comedy ala pelawak Amerika Serikat.

Konsep humor mereka memang di luar kelaziman pada era itu. Lawakan mereka cenderung konseptual. Warkop menjadi grup lawak pertama di Indonesia yang memperkenalkan sistem manajerial terarah dan terkonsep. Mereka memiliki penulis naskah, penata kostum, make up, manager, yang semuanya dihargai secara profesional. Sesuatu yang sama sekali belum terpikirkan oleh pelawak lain pada zamannya.

Mengenai keterampilan, para personel Warkop terbilang sangat mumpuni dan lengkap. Tidak hanya jago melawak, mereka juga piawai bermusik. Hampir semua musisi besar Indonesia pernah terlibat kerjasama untuk mengasah kemampuan musikal mereka. Sebut nama Franky Raden, Jokie Suryoprayogo, Gatot Soedarto, Oddie Agam. Lintas genre, lintas generasi. Lupakan team Lo, P project, atau Project Pop, karena mereka telah mengawali hal itu, jauh sebelum grup-grup itu dibentuk.

Sayangnya, kata "legenda" belum sudi hinggap pada sosok mereka. Pencitraan akibat 34 film penuh perempuan seksi itu menghadirkan imaji yang sama sekali bertolak belakang dengan keinginan.
***

Sebelum wafat, Dono dan Kasino pernah berseloroh bahwa mereka ingin menjadi "sesuatu" dalam dunia lawak Indonesia. Mereka tidak ingin hanya dikenal karena film-film mereka yang dipenuhi wanita seksi nan mengumbar aurat. Sejarah hanya mencatat sepak terjang mereka dalam dunia lawak, namun tidak terdokumentasi.

Hampir sepuluh tahun setelah kematian Dono, Indro berhasil mewujudkan impian itu. Bersama tim, dan orang-orang yang sangat cinta Warkop, dia membuat sebuah buku berjudul "Warkop, main-main menjadi bukan main", yang dilaunching resmi kepada publik pada 10 November 2010 lalu. Ditulis oleh beberapa penulis yang sangat cinta mati dengan grup itu, "main-main..." seolah dapat memberi lentera atas kegelapan sejarah Warkop yang tidak terlihat oleh pandangan mata publik selama ini.

Segala sepak terjang yang tercecer dikumpulkan. Jasa dalam dunia lawak yang terserak dijilid dalam ratusan halaman. Meski tidak akan mampu mendokumentasikan semua perjalanan Warkop DKI, namun cukup layak hadir. Karena mencatat segala hal penting dalam karir Warkop, mulai insiden Es Doger, hingga kolaborasi gila mereka dengan kelompok lawak Srimulat.

Warkop memasuki babak baru. Arah untuk menjadi legenda dalam dunia lawak dan terabadikan sudah tampak. Buku itu mungkin merupakan awal dari pengakuan atas kebesaran mereka yang nyaris tidak terasa. Dokumentasi atas karya mereka yang lain layak menjadi langkah selanjutnya. 34 film dan 12 album kaset Warkop menanti untuk di retouch dan remastering. Sebuah warisan berharga bukan hanya atas sosok yang memperkenalkan genre komedi sensual pada dunia film Indonesia, namun juga sosok yang memberi pelajaran penting bagi dunia lawak di Indonesia.
Bahwa, Pelawak itu musti punya otak.

"Gila lu, Ndro!"

Tidak ada komentar: