Senin, 02 Maret 2009

TERMEHEK-MEHEK; sebuah pembodohan Broadcast



Pada harian Lampung Post edisi Sabtu, 28 feprbuari 2009, di halaman Opini. Penulis mendapatkan sebuah topik tentang profesionalitas kepolisian. Dalam tulisan tersebut, saudara Ahmad Rajafi, mengatakan tentang betapa polisi masih harus meningkatkan profesionalisme mereka dalam mengungkap kasus dan tabir-tabir kejahatan. Ahmad mengambil contoh betapa sulitnya polisi membuka tabir prostitusi terselubung. Polisi dianggap kalah langkah dengan sebuah tayangan reality show (atau pembuat acaranya lebih senang menyebut jenis tayangan ini dengan kategori reality drama) yang sangat top saat ini, Termehek-mehek.

Dalam tulisannya, saudara Ahmad rajafi membandingkan langkah tim “termehek-mehek” yang dapat menembus sebuah sindikat prostitusi dengan sangat mudah. Hal ini mengindikasikan satu fakta, setidaknya tafsiran versi penulis, betapa fenomena prostitusi tersetruktur sangat kasat mata namun tidak terlacak.

Penulis, secara pribadi, setuju dengan maksud, tujuan, dan pesan, yang ingin disampaikan oleh saudara Ahmad rajafi. Namun sayangnya, menggunakan keberhasilan program “termehek-mehek” sebagai ilustrasi perbandingan, menurut penulis, terasa sangat naïf.

Menurut penulis, secara kualitas acara, “Termehek-mehek” tidak lebih mencerdasakan daripada sinetron. Tayangan ini bukanlah termasuk dalam kategori tayangan yang mendidik. Bahkan penulis berani mengatakan, bahwa “termehek-mehek” adalah sebuah tayangan unreality. Sebuah pembodohan kepada pemirsa televisi. Membuat sebuah tayangan yang terkesan ‘seolah-olah nyata’ namun semuanya sudah dalam scenario.

“Termehek-mehek” , berdasarkan data dari Nielsen media research, adalah program reality drama terlaris saat ini. Ilustrasi dari humas Trans TV, Hadiansyah Lubis, menyebutkan share iklan untuk program ini dapat mencapai (sedikitnya) 600 juta rupiah. Bukan hanya itu, rating acara inipun termasuk paling tinggi dibanding program TV lainnya yang diputar pada jam yang sama. Sebagai sebuah program dengan rating dan share iklan yang tidak kecil, tuntutan untuk membuat setiap episodenya menjadi lebih menggigit jelas tidak bisa ditawar.

Nah, titik permasalahannya berada penciptaan “gigitan” dalam setiap episodenya. Secara tehnis, tidak masuk dalam logika penulis (yang kebetulan pernah menggarap beberapa film independent) bagaimana begitu rapinya volume suara antara si pengisi acara, client, dan objek yang didatangi oleh tim “Termehek-mehek”. Kalau memang ini adalah sebuah tipe tayangan yang “Just record all and wait what will happen”, suara objek (di acara ini disebut dengan istilah “target”) sama beningnya dengan suara host acara. Selain itu mungkinkah dalam setiap pencarian akan selalu terjadi kejadian-kejadian yang “bombastis”?.

Kejadian-kejadian “bombastis” hamper selalu terjadi dalam setiap pencarian di episode “termehek-mehek”. Entah itu berkelahi, pingsan, kejar-mengejar, perselisihan yang menyebabkan emosi tingi, masuk dalam kategori “bombastis” yang penulis maksud. Adegan , eh maaf, maksud penulis, kejadian-kejadian “bombastis” inilah yang membuat tayangan termehek-mehek selalu terlihat menarik dan seru. Alangkah beruntungnya tim produksi “termehek-mehek” kalau dalam setiap pencariannya selalu menemukan kejadian-kejadian tersebut. Hal-hal “bombastis” yang selalu terjadi dalam setiap episode tayangan ‘termehek-mehek” inilah yang kemudian menguatkan persepsi penulis bahwa tayangan ini bukanlah sebuah reality drama yang sebenarnya.

Kejadian dan pola produksi acara “termehek-mehek” ini bukanlah sebuah pola baru dalam dunia broadcast. Di Amerika Serikat, mbahnya dunia hiburan, sudah mengenal pola ini sejak 15 tahun yang lalu. Banyak moment yang dapat menjadi pionir, namun penulis akan mengambil sebuah kejadian paling besar, paling popular, tentang tayangan sejenis ‘termehek-mehek” yang membodohi hamper separuh rakyat Amerika.

Kejadian ini terjadi sekitar tahun 1999. Saat itu, Amerika dihebohkan dengan sebuah film yang berjudul “Blair Witch Project”. Penyajian film fiksi berbudget rendah ini dibuat dengan gaya pendekatan documenter reality.

Dalam premis film, tertulis seolah-olah bahwa film ini adalah rekaman video tape tentang perjalanan 3 siswa yang hilang dalam sebuah bukit di kawasan Maryland, Amerika Serikat. Siswa tersebut melakukan perjalanan ke bukit tersebut untuk membuat dokumenter tentang legenda urban yang dikenal dengan sebutan “Blair Witch”. Ketiganya hilang, asad mereka tidak pernah dilakukan. Kaset video tape yang ditemukan tersebut, yang berisi tentang dokumentasi perjalanan mereka, inilah yang kemudian menjadi film “Blair witch project” tadi.

Premis film yang seolah-olah nyata ini terbukti manjur. Film tersebut menjadi film inie terlaris pada tahun 1999. Amerika heboh. Diadakanlah pencarian besar-besaran di bukit Maryland. Kisah tiga remaja tersebut menjadi buah bibir. Hingga akhirnya, didorong oleh rasa tanggung jawab moral, Miramax, perusahaan pembuat film ini membuat pengumuman bahwa “Blair witch project” adalah sebuah kisah fiksi yang digarap dengan gaya dan style yang lebih kreatif.. Metode dokumenter yang digunakan film ini dalam gaya penceritaan kemudian menjadi legenda tersendiri dalam dunia film independen.

Dari kasus “Blair witch Project” ini kita dapat bercermin, betapa sebuah pendekatan realitas dalam menggarap sebuah kisah fiksi dapat menjadi metode pengeruk keuntungan. Masyarakat yang percaya dengan “rekayasa kisah nyata” akan semakin tertarik untuk menyaksikan dan mengikuti sajian tersebut. Menurut penulis, inilah konsep yang dipakai dalam tayangan “termehek-mehek” dan berbagai tayangan relity show sejenis. Sebuah konsep usang yang justru di Amerika sudah tidak dipakai lagi karena sudah ketahuan polanya.

“Termehek-mehek” dibuat dengan gaya seperti itu. Pengambilan gambar yang seolah-olah menggunakan hidden camera. Pengeditan cara bercerita yang menggunakan struktur kronologis waktu. Dan yang paling penting, menggunakan orang-orang biasa dari kalangan kebanyakan sebagai “talent” acara. Semuanya sama persis dengan apa yang dilakukan oleh “Blair Witch Project”.

Apabila tidak segera diperbaiki, besar kemungkinan akan timbul keresahan-keresahan baru ala saudara Ahmad rajafi. Terus terang penulis tidak menutup mata dengan pola prostitusi terselubung yang ada di negeri ini. Memang hal-hal tersebut nyata dan menjadi fenomena tersendiri dalam masyarakat kita. Namun penulis juga yakin tim “termehek-mehek” tidak secanggih seperti yang dibayangkan Ahmad rajafi untuk dapat menembus jaringan tersebut. Melakukan apa yang polisi tidak dapat lakukan. Apa yang dilakukan “termehek-mehek” tidak lebih dari sekedar upaya menciptakan “efek bombastis demi sebuah tayangan yang menggigit” . Itu saja.

Di akhir tulisan, mungkin potongan ucapan Humas Trans Corp, Hadiansyah Lubis tentang tayangan “termehek-mehek” dalam seminar media di Bandar Lampung baru-baru ini dapat menjadi renungan. Saat itu ada seorang peserta yang menanyakan tentang keotentikan realitas tayangan “termehek-mehek”.

“Ya untuk kesimpulan apakan tayangan ini murni relity atau rekayasa kami serahkan kepada pemirsa yang menyaksikan. Toh sebuah tayangan TV juga dapat membuka perbedaan pendapat dan demokrasi.”

Nah lo!

Penulis adalah anggota ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN kota BANDAR LAMPUNG

No telephon: 0813 792 96897

Welcome back, Bioskop representatif


Seperti masyarakat Bandar lampung umumnya, saya termasuk orang yang berbahagia dengan dibukanya kembali bioskop jaringan 21 di kota Tapis berseri ini. Cukup banyak alasan yang membuat moment dibukanya kembali bioskop ini sebagai “ tertawa bahagia”. Salah satu alasan yang masuk akal dan mungkin paling rasional adalah, kesempatan untuk menyaksikan film-film terbaru dengan peralatan yang tonton yang “layak”.

Bukan bermaksud mengecilkan arti kehadiran bioskop non 21 di kota tercinta ini. Namun memang, selain 21, tidak cukup tersedia bioskop dengan peralatan pemutar film yang representatif. Kurang layaknya proyektor dan perangkat audio yang dimiliki bioskop non 21 di kota ini otomatis mengganggu ‘kenikmatan menonton’ film yang oleh sutradaranya sudah dibuat maksimal.

Mengenai ketidaknikmatan menonton akibat “infrastruktur” yang tidak memadai ini, saya punya pengalaman tersendiri. Kebetulan, the most waited movie of the year, laskar pelangi, diputar di salah satu bioskop di Bandarlampung. Kebetulan bioskop yang memutar film ini adalah salah satu bioskop tua dan legendaries. Ketidaksabaran yang menggebu-gebu, plus kecintaan terhadap novelnya memaksa saya untuk menyaksikan “laskar pelangi” di bioskop tersebut. Tanpa bermaksud mengecilkan keberadaan bioskop ini, akhirnya saya menganggap memaksakan diri menonton film ini dengan peralatan seadanya adalah sebuah kesalahan. Proyektor yang out of focus, film yang sudah banya scratch, dan (ini yang betul-betul parah), sound sistem seadanya. Akibatnya jelas, film indah dan banyak mendapat pujian kritikus sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat, berlalu tanpa kesan. Lebih mengecewakan lagi, semuanya disebabkan oleh kendala tehnis “infrastruktur”.

Pengalaman ini memberikan sebuah pelajaran berharga yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Sebagus apapun sebuah film, tanpa pemutar yang maksimal, sama dengan Nol Besar.

Sebelum berbicara lebih jauh. Saya ingin menekankan bahwa fokus tulisan ini sama sekali bukan tentang pengkultusan terhadap bioskop grup 21. Fokus penulisan adalah tentang pentingnya sebuah infrastruktur bioskop yang baik sebagai sarana untuk pembentukan jiwa dan karakter manusia yang lebih beradab. Penggunaan simbol bioskop grup 21 lebih disebabkan sebagai momentum. Karena hingga saat ini, baru inilah bioskop dengan infrastruktur baik yang dimiliki kota ini.

Sejarah bioskop

Sejarah bioskop berawal pada tanggal 13 februari 1895, di Prancis, saat Lumiere bersaudara mematenkan sebuah alat perekam film yang bernama chronophotographic. Pada bulan Desember di tahun yang sama Lumiere bersaudara merekayasanya dan berhasil membuat mesin yang dapat merekam sekaligus memproyeksikan hasil rekaman. Sebulan kemudian direkamlah sebuah produksi film pertama yang berjudul leaving the lumiere factory (versi judul bahasa Inggris). Hasil perekaman tersebut kemudian diputar untuk public di National Society For Industrial Encouragement.

Sejarah dibangunnya bioskop di seluruh dunia, berawal dari pemutaran “film tentang pabrik” ini. Perlahan tapi pasti, bioskop dan Film menjadi sebuah industri yang menjanjikan. Sementara di Indonesia sendiri, sejarah perbioskopan tidak berbeda jauh. Hanya terpaut lima tahun saja. Menurut catatan Nano Riantiarno dalam artikelnya yang berjudul “ada apa dengan film Indonesia”, bioskop pertama di Batavia memperkenalkan dirinya pada 5 desember 1900. 5 tahun lebih awal dari Italia yang baru meresmikan gedung biokop pertamanya pada tahun 1905. Saat itu, bisnis perbioskopan dan film lebih dikenal dengan istilah “gambar idoep”.

Bisnis bioskop ini, meskipun sempat menurun pada era 1942 hingga 1949, tentap menjadi bisnis yang menjanjikan. Bioskop kembali mendapat tempat di hati masyarakat pada era 1950- 1962. Menurut Haris Jauhari (1992) dalam bukunya Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, fenomena ini dikenal sebagai “fase pulih kembali” setelah sempat mengalami kelesuan pada 8 tahun sebelumnya. Moment dari priode ini adalah diresmikannya sebuah bioskop legend di Indonesia yang kemudian dikenal dengan nama “Metropole”. Anda yang pernah menyaksikan film “Janji Joni” pasti pernah mendengar nama bioskop ini. “Metropole” kemudian menjadi pemicu gairah berdirinya bioskop di Indonesia. Hingga tahun 1953, tidak kurang dari 513 bioskop dibangun di Indonesia. Hingga tahun 1960, jumlah bioskop di Indonesia menunjukan angka yang fantastis. 890 gedung!. Jumlah total penonton selama priode ini pun tergolong fantastis. 450 Juta penonton. Sebuah bisnis yang sangat menggiurkan pada saat itu.

Priode penting lainnya bagi bioskop tanah air ada pada tahun 1970-1991. Inilah priode yang disebut Haris Jauhari sebagai “priode tehnologi canggih”. Pada era-era inilah mulai dikenal berbagai tehnologi dalam “industri gambar idoep”. Mulailah dikenal istilah Dolby Stereo, Suround, untuk tehnologi suara atau Panavision untuk gambar. Era kapitalis bioskop, dengan aturan ala rimba, yang bermodal kuatlah yang dapat menayangkan gambar dengan tehnologi mumpuni, dimulai pada era ini.

Inilah era dimana kita mengenal 2 jenis bioskop di Indonesia. Bioskop kelas atas dan bioskop kelas bawah. Bioskop dengan modal kuat, tentunya memiliki kualitas infrastruktur yang baik. Kursi yang nyaman, audio yang canggih, proyektor yang update. Sementara bioskop yang modalnya pas-pasan, hanya mampu menyediakan tempat menonton dengan sarana yang seadanya. Suara yang sember, gambar yang buram, dan kursi yang banyak binatang bangsat.

Pada era inilah, lahir sebuah kerajaan bisnis biokop yang melabeli diri mereka dengan nama “GRUP 21”. Berawal dari kejelian bisnis seorang Sudwikatmono, dan grup subentra miliknya yang mengubah Plaza teater, sebuah gedung bioskop tua, menjadi cikal bakal industri bioskopnya yang kelak akan menggurita. Siasat jitu mengkopi budaya bioskop Amerika Serikat seperti suasana yang eksotik, ruangan yang indah dan nyaman, keamanan yang terjamin dan kebebasan dalam memilih film yang mereka inginkan, membuat bioskop 21 menjadi trendsetter bagaimana standar sebuah bioskop yang baik. Dengan dukungan modal yang kuat, hak tayang terhadap film impor yang jauh lebih dulu dibandingkan bioskop non grup 21. Bioskop 21 menjadi awal dari munculnya isu ‘monopoli bioskop’ yang kemudian baru bisa disanggah pada era pasca reformasi.

Dalam catatan saya, cukup banyak yang menjadikan isu ‘monopoli bioskop’ sebagai area protes pada masa wal kemunculan 21. Dengan dasar UUD 45 yang menabukan monopoli, seorang Slamet Rahardjo Djarot pernah melakkan gugatan ke pengadilan terhadap grup ini. Jika gugatannya dimenangkan, ikon film Indonesia ini hanya mendapatkan 1 rupiah karena hanya sebesar itulah tuntutannya saat itu. Menurut Slamet, gugatannya ini lebih bernuansa politis sehingga bukan perkara jumlah uang yang mendasari tuntutannya. Sayangnya, gugatan Slamet kalah dan sejak saat itu, bisnis 21 menjadi semakin menggurita, sekaligus mematikan potensi bioskop-bioskop dengan modal seadanya.

Persaingan pasar memaksa bioskop-bioskop yang tidak representatif sebagai tempat memutar film ini berguguran satu demi satu. Perlahan tapi pasti, jumlah bioskop yang tadinya berjumlah 2600 gedung pada awal tahun 1990an, menyusut hingga titik nadir. Sejumlah bioskop dengan kelas non 21 peerlahan tapi pasti bangkrut. Tidak sedikit yang beralih fungsi menjadi retail minimarket. Pada tahun 2004, jumlah bioskop yang ada di Indonesia hanya tersisa 272 saja. Dengan jumlah layar sebanyak 720 layar.

Bioskop nyaman dan representatif

Menurut saya, kealahan banyaknya gedung bioskop yang gulung tikar ini bukan hanya semata kesalahan munculnya 21. Pasar memang memiliki caranya sendiri untuk melakukan seleksinya. Menurut Articlenatch.com, Visual elemen bioskop memberikan gambar gerakan universal kekuatan komunikasi. Film telah menjadi atraksi yang populer di seluruh dunia sebagai cermin sebuah budaya dan menggambarkan sebuah budaya. Hal mendasar inilah yang dimiliki oleh 21.

Film sebagai elemen kebutuhan dasar manusia untuk merefleksikan diri, memerlukan perlakuan khusus dan istimewa agar pesan dan reflektivitas tadi ‘sampai’. Dibutuhkan sebuah cermin yang bersih, baik, dengan sudut yang pas, agar ‘aktivitas bercermin’ dapat maksimal. Sebagaimana layaknya kaca, filmpun membutuhkan sebuah pemutar yang baik agar penyajian, maksuud, dan tujuan si pembuat film data terlihat dengan jelas oleh si penonton. Kasus “Laskar pelangi” tadi dapat dijadikan contoh. Mungkin saya tidak seorang diri sebagai orang yang merasakan betapa tidak menyenangkannya suasana menonton film tersebut karena buruknya kualitas infrastruktur.

Menonton film adalah sebuah ritual penting dalam hidup manusia yang selalu mendambakan antara kesehatan badan, kesehatan otak, dan kesehatan jiwa. Beberapa efek pasca menonton film dapat menjadi obat ampuh bagi jiwa yang penat oleh rutinitas hidup. Efek paling rendah dari menonton ini adalah merasa terhibur. Sementara efek paling tinggi, tentu saja , adalah pencerahan.

Itulah sebabnya, sebuah bioskop dengan infrastruktur yang baik menjadi hal mendesak. Untuk kota ini, kebutuhan tersebut (mungkin) baru bisa dipenuhi oleh 21. Namun menurut saya, bukan hanya nama 21, yang dapat menjadi cetak biru terhadap sebuah bioskop berategori baik. Siapapun, yang bergerak di industri bioskop, entah itu biokop tradisonal, bioskop digital, atau bahkan bioskop layar tancap sekalipun, memiliki peluang yang sama untuk kategori ini. Dengan menggarisbawahi bahwa budaya menonton film adalah sebuah bentuk dari pencerdasan alternatif, nampaknya harapan memiliki bioskop yang representatif tanpa perlu melihat adakah terdapat dua angka pada nama bioskop tersebut bukanlah sebuah impian di tengah musim.

Maju terus bioskop Indonesia!

Menggugat Etika Berbahasa Presenter

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah forum tidak resmi dengan bapak Bambang Edy Purnomo, ketua PRSSNI lampung dan pemilik Yudistira FM, saya sempat membicarakan sebuah topik yang ringan namun menarik. Topik yang, mungkin, tidak terlalu terlihat kasat mata oleh orang kebanyakan, namun menjadi hal yang sangat urgent bagi kami, penggiat radio dan dunia broadcast. Topik sangat kontekstual dengan dunia yang pernah saya geluti ini adalah tentang disiplin berbahasa Indonesia di kalangan para pembawa acara, pembaca berita, dan penyiar radio.

Bisa dikatakan, disiplin berbahasa indonesia yang baik di kalangan presenter TV, penyiar radio, dan pembaca berita kita sehari-hari, sangat rendah.Susunan bahasanya nyaris amburadul. Dengan seenak perut, para 'focus of interest' program TV ini menabrakan kata, seolah mereka tidak mengenal pelajaran bahasa Indonesia sebelumnya.Coba perhatikan, berapa banyak dari presenter TV yang anda tonton yang selalu menggunakan kata 'pastinya' dalam kalimat mereka? Atau pernahkah anda tidak mendengar kata "seneng banget" dari seorang pembawa acara? Dari riset kecil-kecilan yang saya lakukan secara sporadis, kata 'banget' adalah kata paling populer yang diucapkan seorang pembawa acara selain kata 'jangan kemana-mana." Sayangnya, semua kata-kata yang masuk kategori 'terpopuler' tersebut adalah contoh penggunaan bahasa indonesia yang tidak pada tempatnya.

Menyedihkan memang. Mengingat televisi sendiri adalah media yang paling populer di masyarakat indonesia saat ini. Kepopuleran televisi ini konon menjadikan sebuah budaya, kebiasaan, dan informasi, masuk dengan mudahnya ke setiap sudut rumah tanpa sekat penghalang yang mampu menghalangi. Ini bukan masalah besar, seandainya tingkat pendidikan dan intelektualitas penonton televisi kita sudah mumpuni. Sehingga mampu menyaring dengan selektif ssegala hal yang dibawa oleh ayangan televisi tersebut. Namun, elihat tingkat pendidikan penonton televisi kita yang (mohon maaf) masih belum mencapai tahap mampu mengkritisi, nampaknya ini akan menjadi masalah besar.

Presenter, pembaca berita, pembawa acara adalah objek interest yang menentukan 'gurih' atau tidaknya materi acara yang disajikan. Sebagai sosok dengan 'beban komunikasi' sebagai penyampai pesan yang besar, sudah pasti seorang yang berada pada pekerjaan ini harus mampu menjadi seorang 'penyampai' yang baik. Namun sayang, makna 'penyampai' yang baik ini cenderung dipermudah (baca:diremehkan) dengan tidak teliti menyusun kata-kata yang akan disampaikan. saya pernah protes dengan seorang teman yang kebetulan menjadi pembawa acara di sebuah TV tentang betapa belepotannya cara dia dalam merangkai kata dan bahasa. Eh, dia malah berdalih (apabila tidak boleh disebut sebagai upaya ngeles), dengan mengatakan hal tersebut sebagai "Tuntutan scenario untuk menyajikan acara secara santai dan tidak formil." Atas uapaya ngeles teman saya ini, saya hanya bisa membatin sedih. Pengertian dia, penyajian acara santai itu artinya tidak perlu memikirkan kaidah-kaidah bahasa yang baik.

Tingginya volume masyarakat kita dalam menonton TV dibandingkan dengan membaca buku (mohon maaf, sekali lagi ini adalah riset amatir nan sporadis) mengakibatkan bahasa yang terserap dalam pikiran secara tidak sadar lebih banyak bersumber dari televisi.Apabila hal ini dibiarkan, bersiaplah dengan sebuah masa depan suram dimana bahasa yang kita cintai ini makin lama akan makin terdegradasi. Akan semakin sedikit generasi kita ke depan yang menguasai pola bahasa dan struktur kalimat dalam bahasa indonesia. Akan ada suatu masa dimana bahasa slang dan bahasa gaul anak muda sehari-hari menjadi bahasa yang banyak dipakai sehingga batas-batas antara bahasa baku dengan bahasa tidak baku menjadi semakin kabur. Dan yang paling mengerikan, bahasa Indonesia akan bernasib seperti bahasa-bahasa daerah kita, Punah secara perlahan-lahan.

Terus terang, saya takut anak-anak kita saat dewasa nanti akan terbiasa menggunakan kata 'pastinya' yang notabene tidak ada dalam kamus bahasa indonesia edisi manapun. Ada sebuah ketakutan dimana nanti kata "seneng banget" menjadi kata yang dipakai dalam buku kesusasteraan karena sudah lupa dengan kalimat "Saya senang sekali." Ini semua berawal dari sikap permisif kita terhadap para pengisi acara TV untuk tidak memikirkan pola dan kaidah bahasa yang digunakannya. Santai dan tidak formil terwujud dari sikap dan pembawaan, bukan dari bahasa yang digunakan. santai tidak harus cuek dan semau gue dalam berbahasa. Gaul tidak harus menghancurkan kosa kata baku. Saya rasa, adalah sebuah hal yang bodoh untuk menjadikan "tuntutan scenario untuk mencipatakan acara yang santai dan tidak formil" sebagai alasan atas ketidakmampuan berbahasa yang baik.

Di ujung diskusi saya dengan pak Bambang, ditarik sebuah kesimpulan. Siapapun yang ingin ditampilkan sebagai pembawa acara, presenter dan pembaca berita di televisi dan radio, wajib hukumnya mendapatkan kursus kilat tentang tata cara berbahasa indonesia. Ah, sendainya MUI mmpetimbangkan kesimpulan kami ini sebagai materi untuk sidang Ijtihad selanjutnya. Ketimbang fatwa golput,gitu loh...

Agusta hidayatullah

Jurnalis Okezone.com