Senin, 02 Maret 2009

Welcome back, Bioskop representatif


Seperti masyarakat Bandar lampung umumnya, saya termasuk orang yang berbahagia dengan dibukanya kembali bioskop jaringan 21 di kota Tapis berseri ini. Cukup banyak alasan yang membuat moment dibukanya kembali bioskop ini sebagai “ tertawa bahagia”. Salah satu alasan yang masuk akal dan mungkin paling rasional adalah, kesempatan untuk menyaksikan film-film terbaru dengan peralatan yang tonton yang “layak”.

Bukan bermaksud mengecilkan arti kehadiran bioskop non 21 di kota tercinta ini. Namun memang, selain 21, tidak cukup tersedia bioskop dengan peralatan pemutar film yang representatif. Kurang layaknya proyektor dan perangkat audio yang dimiliki bioskop non 21 di kota ini otomatis mengganggu ‘kenikmatan menonton’ film yang oleh sutradaranya sudah dibuat maksimal.

Mengenai ketidaknikmatan menonton akibat “infrastruktur” yang tidak memadai ini, saya punya pengalaman tersendiri. Kebetulan, the most waited movie of the year, laskar pelangi, diputar di salah satu bioskop di Bandarlampung. Kebetulan bioskop yang memutar film ini adalah salah satu bioskop tua dan legendaries. Ketidaksabaran yang menggebu-gebu, plus kecintaan terhadap novelnya memaksa saya untuk menyaksikan “laskar pelangi” di bioskop tersebut. Tanpa bermaksud mengecilkan keberadaan bioskop ini, akhirnya saya menganggap memaksakan diri menonton film ini dengan peralatan seadanya adalah sebuah kesalahan. Proyektor yang out of focus, film yang sudah banya scratch, dan (ini yang betul-betul parah), sound sistem seadanya. Akibatnya jelas, film indah dan banyak mendapat pujian kritikus sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibuat, berlalu tanpa kesan. Lebih mengecewakan lagi, semuanya disebabkan oleh kendala tehnis “infrastruktur”.

Pengalaman ini memberikan sebuah pelajaran berharga yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Sebagus apapun sebuah film, tanpa pemutar yang maksimal, sama dengan Nol Besar.

Sebelum berbicara lebih jauh. Saya ingin menekankan bahwa fokus tulisan ini sama sekali bukan tentang pengkultusan terhadap bioskop grup 21. Fokus penulisan adalah tentang pentingnya sebuah infrastruktur bioskop yang baik sebagai sarana untuk pembentukan jiwa dan karakter manusia yang lebih beradab. Penggunaan simbol bioskop grup 21 lebih disebabkan sebagai momentum. Karena hingga saat ini, baru inilah bioskop dengan infrastruktur baik yang dimiliki kota ini.

Sejarah bioskop

Sejarah bioskop berawal pada tanggal 13 februari 1895, di Prancis, saat Lumiere bersaudara mematenkan sebuah alat perekam film yang bernama chronophotographic. Pada bulan Desember di tahun yang sama Lumiere bersaudara merekayasanya dan berhasil membuat mesin yang dapat merekam sekaligus memproyeksikan hasil rekaman. Sebulan kemudian direkamlah sebuah produksi film pertama yang berjudul leaving the lumiere factory (versi judul bahasa Inggris). Hasil perekaman tersebut kemudian diputar untuk public di National Society For Industrial Encouragement.

Sejarah dibangunnya bioskop di seluruh dunia, berawal dari pemutaran “film tentang pabrik” ini. Perlahan tapi pasti, bioskop dan Film menjadi sebuah industri yang menjanjikan. Sementara di Indonesia sendiri, sejarah perbioskopan tidak berbeda jauh. Hanya terpaut lima tahun saja. Menurut catatan Nano Riantiarno dalam artikelnya yang berjudul “ada apa dengan film Indonesia”, bioskop pertama di Batavia memperkenalkan dirinya pada 5 desember 1900. 5 tahun lebih awal dari Italia yang baru meresmikan gedung biokop pertamanya pada tahun 1905. Saat itu, bisnis perbioskopan dan film lebih dikenal dengan istilah “gambar idoep”.

Bisnis bioskop ini, meskipun sempat menurun pada era 1942 hingga 1949, tentap menjadi bisnis yang menjanjikan. Bioskop kembali mendapat tempat di hati masyarakat pada era 1950- 1962. Menurut Haris Jauhari (1992) dalam bukunya Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia, fenomena ini dikenal sebagai “fase pulih kembali” setelah sempat mengalami kelesuan pada 8 tahun sebelumnya. Moment dari priode ini adalah diresmikannya sebuah bioskop legend di Indonesia yang kemudian dikenal dengan nama “Metropole”. Anda yang pernah menyaksikan film “Janji Joni” pasti pernah mendengar nama bioskop ini. “Metropole” kemudian menjadi pemicu gairah berdirinya bioskop di Indonesia. Hingga tahun 1953, tidak kurang dari 513 bioskop dibangun di Indonesia. Hingga tahun 1960, jumlah bioskop di Indonesia menunjukan angka yang fantastis. 890 gedung!. Jumlah total penonton selama priode ini pun tergolong fantastis. 450 Juta penonton. Sebuah bisnis yang sangat menggiurkan pada saat itu.

Priode penting lainnya bagi bioskop tanah air ada pada tahun 1970-1991. Inilah priode yang disebut Haris Jauhari sebagai “priode tehnologi canggih”. Pada era-era inilah mulai dikenal berbagai tehnologi dalam “industri gambar idoep”. Mulailah dikenal istilah Dolby Stereo, Suround, untuk tehnologi suara atau Panavision untuk gambar. Era kapitalis bioskop, dengan aturan ala rimba, yang bermodal kuatlah yang dapat menayangkan gambar dengan tehnologi mumpuni, dimulai pada era ini.

Inilah era dimana kita mengenal 2 jenis bioskop di Indonesia. Bioskop kelas atas dan bioskop kelas bawah. Bioskop dengan modal kuat, tentunya memiliki kualitas infrastruktur yang baik. Kursi yang nyaman, audio yang canggih, proyektor yang update. Sementara bioskop yang modalnya pas-pasan, hanya mampu menyediakan tempat menonton dengan sarana yang seadanya. Suara yang sember, gambar yang buram, dan kursi yang banyak binatang bangsat.

Pada era inilah, lahir sebuah kerajaan bisnis biokop yang melabeli diri mereka dengan nama “GRUP 21”. Berawal dari kejelian bisnis seorang Sudwikatmono, dan grup subentra miliknya yang mengubah Plaza teater, sebuah gedung bioskop tua, menjadi cikal bakal industri bioskopnya yang kelak akan menggurita. Siasat jitu mengkopi budaya bioskop Amerika Serikat seperti suasana yang eksotik, ruangan yang indah dan nyaman, keamanan yang terjamin dan kebebasan dalam memilih film yang mereka inginkan, membuat bioskop 21 menjadi trendsetter bagaimana standar sebuah bioskop yang baik. Dengan dukungan modal yang kuat, hak tayang terhadap film impor yang jauh lebih dulu dibandingkan bioskop non grup 21. Bioskop 21 menjadi awal dari munculnya isu ‘monopoli bioskop’ yang kemudian baru bisa disanggah pada era pasca reformasi.

Dalam catatan saya, cukup banyak yang menjadikan isu ‘monopoli bioskop’ sebagai area protes pada masa wal kemunculan 21. Dengan dasar UUD 45 yang menabukan monopoli, seorang Slamet Rahardjo Djarot pernah melakkan gugatan ke pengadilan terhadap grup ini. Jika gugatannya dimenangkan, ikon film Indonesia ini hanya mendapatkan 1 rupiah karena hanya sebesar itulah tuntutannya saat itu. Menurut Slamet, gugatannya ini lebih bernuansa politis sehingga bukan perkara jumlah uang yang mendasari tuntutannya. Sayangnya, gugatan Slamet kalah dan sejak saat itu, bisnis 21 menjadi semakin menggurita, sekaligus mematikan potensi bioskop-bioskop dengan modal seadanya.

Persaingan pasar memaksa bioskop-bioskop yang tidak representatif sebagai tempat memutar film ini berguguran satu demi satu. Perlahan tapi pasti, jumlah bioskop yang tadinya berjumlah 2600 gedung pada awal tahun 1990an, menyusut hingga titik nadir. Sejumlah bioskop dengan kelas non 21 peerlahan tapi pasti bangkrut. Tidak sedikit yang beralih fungsi menjadi retail minimarket. Pada tahun 2004, jumlah bioskop yang ada di Indonesia hanya tersisa 272 saja. Dengan jumlah layar sebanyak 720 layar.

Bioskop nyaman dan representatif

Menurut saya, kealahan banyaknya gedung bioskop yang gulung tikar ini bukan hanya semata kesalahan munculnya 21. Pasar memang memiliki caranya sendiri untuk melakukan seleksinya. Menurut Articlenatch.com, Visual elemen bioskop memberikan gambar gerakan universal kekuatan komunikasi. Film telah menjadi atraksi yang populer di seluruh dunia sebagai cermin sebuah budaya dan menggambarkan sebuah budaya. Hal mendasar inilah yang dimiliki oleh 21.

Film sebagai elemen kebutuhan dasar manusia untuk merefleksikan diri, memerlukan perlakuan khusus dan istimewa agar pesan dan reflektivitas tadi ‘sampai’. Dibutuhkan sebuah cermin yang bersih, baik, dengan sudut yang pas, agar ‘aktivitas bercermin’ dapat maksimal. Sebagaimana layaknya kaca, filmpun membutuhkan sebuah pemutar yang baik agar penyajian, maksuud, dan tujuan si pembuat film data terlihat dengan jelas oleh si penonton. Kasus “Laskar pelangi” tadi dapat dijadikan contoh. Mungkin saya tidak seorang diri sebagai orang yang merasakan betapa tidak menyenangkannya suasana menonton film tersebut karena buruknya kualitas infrastruktur.

Menonton film adalah sebuah ritual penting dalam hidup manusia yang selalu mendambakan antara kesehatan badan, kesehatan otak, dan kesehatan jiwa. Beberapa efek pasca menonton film dapat menjadi obat ampuh bagi jiwa yang penat oleh rutinitas hidup. Efek paling rendah dari menonton ini adalah merasa terhibur. Sementara efek paling tinggi, tentu saja , adalah pencerahan.

Itulah sebabnya, sebuah bioskop dengan infrastruktur yang baik menjadi hal mendesak. Untuk kota ini, kebutuhan tersebut (mungkin) baru bisa dipenuhi oleh 21. Namun menurut saya, bukan hanya nama 21, yang dapat menjadi cetak biru terhadap sebuah bioskop berategori baik. Siapapun, yang bergerak di industri bioskop, entah itu biokop tradisonal, bioskop digital, atau bahkan bioskop layar tancap sekalipun, memiliki peluang yang sama untuk kategori ini. Dengan menggarisbawahi bahwa budaya menonton film adalah sebuah bentuk dari pencerdasan alternatif, nampaknya harapan memiliki bioskop yang representatif tanpa perlu melihat adakah terdapat dua angka pada nama bioskop tersebut bukanlah sebuah impian di tengah musim.

Maju terus bioskop Indonesia!

Tidak ada komentar: