Senin, 02 Maret 2009

Menggugat Etika Berbahasa Presenter

Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah forum tidak resmi dengan bapak Bambang Edy Purnomo, ketua PRSSNI lampung dan pemilik Yudistira FM, saya sempat membicarakan sebuah topik yang ringan namun menarik. Topik yang, mungkin, tidak terlalu terlihat kasat mata oleh orang kebanyakan, namun menjadi hal yang sangat urgent bagi kami, penggiat radio dan dunia broadcast. Topik sangat kontekstual dengan dunia yang pernah saya geluti ini adalah tentang disiplin berbahasa Indonesia di kalangan para pembawa acara, pembaca berita, dan penyiar radio.

Bisa dikatakan, disiplin berbahasa indonesia yang baik di kalangan presenter TV, penyiar radio, dan pembaca berita kita sehari-hari, sangat rendah.Susunan bahasanya nyaris amburadul. Dengan seenak perut, para 'focus of interest' program TV ini menabrakan kata, seolah mereka tidak mengenal pelajaran bahasa Indonesia sebelumnya.Coba perhatikan, berapa banyak dari presenter TV yang anda tonton yang selalu menggunakan kata 'pastinya' dalam kalimat mereka? Atau pernahkah anda tidak mendengar kata "seneng banget" dari seorang pembawa acara? Dari riset kecil-kecilan yang saya lakukan secara sporadis, kata 'banget' adalah kata paling populer yang diucapkan seorang pembawa acara selain kata 'jangan kemana-mana." Sayangnya, semua kata-kata yang masuk kategori 'terpopuler' tersebut adalah contoh penggunaan bahasa indonesia yang tidak pada tempatnya.

Menyedihkan memang. Mengingat televisi sendiri adalah media yang paling populer di masyarakat indonesia saat ini. Kepopuleran televisi ini konon menjadikan sebuah budaya, kebiasaan, dan informasi, masuk dengan mudahnya ke setiap sudut rumah tanpa sekat penghalang yang mampu menghalangi. Ini bukan masalah besar, seandainya tingkat pendidikan dan intelektualitas penonton televisi kita sudah mumpuni. Sehingga mampu menyaring dengan selektif ssegala hal yang dibawa oleh ayangan televisi tersebut. Namun, elihat tingkat pendidikan penonton televisi kita yang (mohon maaf) masih belum mencapai tahap mampu mengkritisi, nampaknya ini akan menjadi masalah besar.

Presenter, pembaca berita, pembawa acara adalah objek interest yang menentukan 'gurih' atau tidaknya materi acara yang disajikan. Sebagai sosok dengan 'beban komunikasi' sebagai penyampai pesan yang besar, sudah pasti seorang yang berada pada pekerjaan ini harus mampu menjadi seorang 'penyampai' yang baik. Namun sayang, makna 'penyampai' yang baik ini cenderung dipermudah (baca:diremehkan) dengan tidak teliti menyusun kata-kata yang akan disampaikan. saya pernah protes dengan seorang teman yang kebetulan menjadi pembawa acara di sebuah TV tentang betapa belepotannya cara dia dalam merangkai kata dan bahasa. Eh, dia malah berdalih (apabila tidak boleh disebut sebagai upaya ngeles), dengan mengatakan hal tersebut sebagai "Tuntutan scenario untuk menyajikan acara secara santai dan tidak formil." Atas uapaya ngeles teman saya ini, saya hanya bisa membatin sedih. Pengertian dia, penyajian acara santai itu artinya tidak perlu memikirkan kaidah-kaidah bahasa yang baik.

Tingginya volume masyarakat kita dalam menonton TV dibandingkan dengan membaca buku (mohon maaf, sekali lagi ini adalah riset amatir nan sporadis) mengakibatkan bahasa yang terserap dalam pikiran secara tidak sadar lebih banyak bersumber dari televisi.Apabila hal ini dibiarkan, bersiaplah dengan sebuah masa depan suram dimana bahasa yang kita cintai ini makin lama akan makin terdegradasi. Akan semakin sedikit generasi kita ke depan yang menguasai pola bahasa dan struktur kalimat dalam bahasa indonesia. Akan ada suatu masa dimana bahasa slang dan bahasa gaul anak muda sehari-hari menjadi bahasa yang banyak dipakai sehingga batas-batas antara bahasa baku dengan bahasa tidak baku menjadi semakin kabur. Dan yang paling mengerikan, bahasa Indonesia akan bernasib seperti bahasa-bahasa daerah kita, Punah secara perlahan-lahan.

Terus terang, saya takut anak-anak kita saat dewasa nanti akan terbiasa menggunakan kata 'pastinya' yang notabene tidak ada dalam kamus bahasa indonesia edisi manapun. Ada sebuah ketakutan dimana nanti kata "seneng banget" menjadi kata yang dipakai dalam buku kesusasteraan karena sudah lupa dengan kalimat "Saya senang sekali." Ini semua berawal dari sikap permisif kita terhadap para pengisi acara TV untuk tidak memikirkan pola dan kaidah bahasa yang digunakannya. Santai dan tidak formil terwujud dari sikap dan pembawaan, bukan dari bahasa yang digunakan. santai tidak harus cuek dan semau gue dalam berbahasa. Gaul tidak harus menghancurkan kosa kata baku. Saya rasa, adalah sebuah hal yang bodoh untuk menjadikan "tuntutan scenario untuk mencipatakan acara yang santai dan tidak formil" sebagai alasan atas ketidakmampuan berbahasa yang baik.

Di ujung diskusi saya dengan pak Bambang, ditarik sebuah kesimpulan. Siapapun yang ingin ditampilkan sebagai pembawa acara, presenter dan pembaca berita di televisi dan radio, wajib hukumnya mendapatkan kursus kilat tentang tata cara berbahasa indonesia. Ah, sendainya MUI mmpetimbangkan kesimpulan kami ini sebagai materi untuk sidang Ijtihad selanjutnya. Ketimbang fatwa golput,gitu loh...

Agusta hidayatullah

Jurnalis Okezone.com

1 komentar:

Noeza mengatakan...

Apa kabar Pak Agusta Hidayatullah?
Ijinkan saya memperkenalkan diri, nama panggilan saya Noeza (maaf saya memakai nama panggilan, bukan nama asli). Saya bukan seorang ahli Bahasa Indonesia, tetapi saya sangat mengkhawatirkan dan menyayangkan mengenai penggunaan Bahasa Indonesia oleh banyak media masa terutama stasiun televisi, mereka tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya setuju dengan tulisan anda ini, sebelumnya saya pernah menyampaikan kritikan kepada beberapa staisun televisi swasta tentang Bahasa Indonesia yang mereka gunakan, saya hanya menyampikan kepada televisi swasta karena yang saya ketahui adalah mereka yang paling banyak melakukan kesalahan dalam menggunakan Bahasa Indoensia.
Tetapi sepertinya pihaka stasiun televisi tidak memberikan tanggapan terhadap kritik saya, terbukti dengan masih digunakannya bahasa yang "acak-acakan", kata-kata yang artinya tidak sesuai dengan yang disampaikan dan penggunaan bahasa lain (meskipun bahasa daerah) yang dicampur dengan Bahasa Indonesia. Saya mengkhawatirkan jika hal ini terus dibiarkan akan menghancurkan Bahasa Indonesia, karena saat ini sudah banyak terjadi kesalahan-kesalahan dalam penggunaan Bahasa Indoenesia di masyarakat umum, dengan begitu kita akan kehilangan identitas sebagai Bangsa Indonesia. Dan yang kadang-kadang membuat saya "jengkel" adalah salah satu staisun televisi yang berani menyatakan bahwa mereka pantas untuk ditonton sebagai media pemelajaran bagi masyarakat, saya tidak setuju dengan hal itu mungkin betul kalau disebut memperbodoh masyarakat.
Saya pernah berpikir (mohon maaf sebelumnya) apakah sebodoh itukah para penyaji berita di Indonesia, atau mereka sudah tidak punya hati sehingga yang dipikirkan hanya mencari keuntungan dan tidak memikirkan bagaimana akibatnya bagi Bangsa Indonesia.
Jika Pak Agusta mempunyai jalan untuk menyampaikan masalah ini ke pihak yang berwenang dan media masa, saya hanya berharap kepada bapak untuk terus memperjuangkannya. Terima kasih sebelumnya.